Saturday, December 28, 2019

Nintendo 3DS: Mesin Game Idaman yang Terbeli

Nintendo 3DS Reguler warna Aqua Blue milik saya.
HALO Sahabat Gamer, saya Retro Lukman Gamer Jalanan, tanpa terasa 2019 segera berlalu dan berganti 2020. Banyak suka duka terjadi di 2019, dan di antara hal yang menyenangkan tersebut adalah terwujudnya keinginan saya untuk memiliki salah satu konsol yang sudah lama saya idam-idamkan, Nintendo 3DS. Yup, pada catatan akhir tahun ini saya akan bercerita tentang Nintendo 3DS. 

Nintendo 3DS, atau kita sebut saja 3DS biar singkat, adalah konsol penerus Nintendo DS (NDS) yang memiliki fitur efek stereospik 3D tanpa kacamata. Efek yang membuat gambar di layar terlihat timbul, terlihat nyata seakan keluar dari monitor inilah yang menjadi perhatian saya saat 3DS pertama kali diluncurkan di 2011. Tahun itu merupakan tahun transisi yang cukup penting bagi saya, karena di tahun itu saya wisuda kuliah.

Presiden Nintendo waktu itu, almarhum Satoru Iwata saat memperkenalkan 3DS.
Sebagai seorang gamer Nintendo sejak zaman NES (Nintendo 8-bit) hingga NDS, saya langsung terkesima melihat 3DS diperkenalkan. Keinginan untuk membeli konsol portabel ini pun muncul, namun belum bisa diwujudkan saat itu karena apalah daya saya seorang mahasiswa yang bisa kuliah pun karena dibantu anggota keluarga yang berduit. Apalagi harganya saat itu masih mahal, masih harga aslinya yang kalau dirupiahkan sekira Rp 3 jutaan.

Keinginan untuk membeli 3DS pun saya hilangkan, selain karena ketiadaan biaya, juga karena waktu itu belum ada game di 3DS yang menarik perhatian saya untuk memilikinya. Game Pokemon misalnya, kala itu malah terbit Pokemon Black & White, yang sejatinya merupakan game NDS. Dan sebagai gamer jelata waktu itu, gamenya bisa saya mainkan di emulator PC. Game Pokemon yang khusus untuk 3DS baru muncul dua tahun kemudian di 2013, yaitu Pokemon X dan Pokemon Y.

Namun di tahun berikutnya, di 2012 ketika saya sudah bekerja, keinginan untuk membeli 3DS muncul kembali. Saya lupa alasan pastinya kenapa saya kembali menginginkannya waktu itu, apakah karena ada game-game yang menarik perhatian saya, atau karena keinginan saya untuk memiliki konsol Nintendo setidaknya satu dalam seumur hidup, sebagaimana ayah saya yang memiliki NES semasa hidup beliau.

Konsol NES yang dahulu pernah dimiliki almarhum ayah saya.
Mengingat saya sudah bekerja, membeli 3DS kala itu sebenarnya bukan hal yang mustahil. Memang harganya masih mahal, akan tetapi saya bisa membelinya apabila menabung. Saya ingat kala itu saya berada dalam dilema antara membeli 3DS atau kamera digital. Saya memang berkeinginan membeli kamera untuk mendukung pekerjaan saya waktu itu sebagai seorang jurnalis. Dilema ini sempat saya tanyakan ke rekan-rekan saya, yang menjawab lebih baik saya beli kamera.

Pada akhirnya saya membeli kamera, itu pun bekas bos saya yang saya cicil dari potong gaji. Sedangkan untuk 3DS, sayangnya tidak terbeli. Salah satu alasan kenapa konsol idaman saya itu tidak terbeli lantaran keluarga saya. Saat itu adik saya sedang kuliah dan membutuhkan biaya. Pada akhirnya, uang yang ada saya berikan kepada ibu saya untuk membantu biaya kuliah adik saya. 

Alasan lain kenapa 3DS tak saya miliki waktu itu karena keluarga saya tidak memperbolehkan saya untuk membeli konsol tersebut. Ibu saya secara tegas menolak, karena ada keperluan lain yang mesti diprioritaskan. Apalagi mengingat harga 3DS yang waktu itu masih terbilang mahal. Bagi kami yang bukan keluarga kaya, nominal segitu terbilang fantastis. Kata ibu saya, kalau bermain game di netbook saja, kebetulan saat itu saya baru beli laptop yang saya gunakan untuk menunjang pekerjaan saya.

Netbook Asus yang saya ubah menjadi mesin game retro.
Saudara saya pun demikian. Awalnya mereka tidak masalah bila saya ingin membeli konsol video game. Namun ketika saya beri tahu harganya, mereka kaget. Mereka pikir harganya paling mahal Rp 500 ribuan. Sehingga demi mendengar harga 3DS, mereka tidak memberi dukungan. Alhasil, niat membeli 3DS pun pudar, dan yang saya bisa lakukan hanya bermain game di netbook Asus saya, yang saya ubah menjadi mesin game retro dengan bantuan sederet program emulator.

Seiring berjalannya waktu, saya menikah, punya anak, dan melupakan semua keinginan untuk memiliki konsol video game. Hasrat video game saya waktu itu sudah bisa tersalurkan lewat netbook Asus saya, yang membuat saya memiliki sederet pengetahuan dan pengalaman permainan game-game retro mulai dari NES sampai N64. Menjadi kepala rumah tangga juga membuat saya lebih memprioritaskan uang yang saya dapatkan untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak saya, ketimbang sekadar untuk video game.

Namun di 2017, keinginan untuk memiliki konsol video game itu muncul kembali. Dimulai ketika saya mendapati konsol klon GBA, V-Com Portable yang berbentuk GBA SP dijual di salah satu grup komunitas konsol game. Harganya relatif terjangkau dan saya mampu membelinya. Untuk pertama kalinya, saya memainkan game GBA dalam wujud konsol setelah sebelum-sebelumnya hanya memainkannya lewat emulator. Ya walaupun konsolnya bukan konsol ori, hanya konsol kloningan.

Klon GBA SP yang saya miliki.
Klon GBA itu terbilang bagus, lantaran memiliki kelebihan dalam hal bisa memainkan banyak game GBA tanpa mesti memiliki kasetnya (cartridge) yaitu dengan menggunakan memory card yang bisa diisi ulang. Namun sayangnya ada kelemahan mendasar, yaitu baterainya yang tidak tahan lama, paling lama mungkin sekira setengah sampai satu jam. Sehingga kurang portabel, dan saya mesti memainkannya sambil di-charge. 

Tidak lama, konsol itu rusak, menampilkan layarnya yang buram. Saya tidak tahu apa masalahnya, kemungkinan besar ada pada fleksibelnya. Namun saya tidak pernah tahu di mana bisa memperbaiki konsol itu di kota saya, di Samarinda. Sejak itu, klon GBA tersebut tidak pernah saya mainkan lagi. Saya cukup kecewa, anak saya juga kecewa (dia suka menyaksikan SpongeBob SquarePants di GBA Video), tetapi kami harus mengikhlaskannya pergi. 

Berikutnya, muncul keinginan saya untuk memiliki NDS. Semua bermula dari keisengan saya mengunduh emulator NDS, Drastic di ponsel saya. Lewat emulator Drastic, saya bernostalgia memainkan kembali game-game NDS, terutama serial Phoenix Wright: Ace Attorney yang saya lewatkan. Hingga akhirnya saya berhasil menyelesaikan ketiga seri pertamanya di ponsel. Saya pun mulai memainkan game Professor Layton, yang juga saya lewatkan semasa masih aktif bermain game di emulator.

Professor Layton dan Phoenix Wright, dua franchise favorit saya di NDS.
Keduanya hadir dalam satu game crossover di 3DS.
Dari situ mulai muncul keinginan untuk membeli NDS, lantaran saya ingin bisa merasakan sensasi memainkan game-game tersebut yang sebenarnya, di konsol aslinya. Waktu itu cuma sekadar keinginan sih, hingga kemudian saya memainkan kembali game Tetris DS. Game inilah yang membuat saya kala itu sangat ingin membeli NDS. Pasalnya, game ini sama sekali tidak terasa seru dimainkan di ponsel. Kontrolnya di layar ponsel sangat tidak presisi, membuat saya begitu ingin bisa memainkannya secara maksimal di konsol aslinya.

November 2017, saya ingat pada akhirnya berhasil memiliki NDS seken warna putih yang harganya terbilang murah. Kebetulan waktu itu saya dapat uang lebih, yang saya paksakan untuk membelinya. Saya beruntung memiliki istri yang pengertian, yang tidak melarang saya untuk membeli konsol video game. "Kalau mau beli ya beli, tidak usah pikir-pikir. Daripada nanti menyesal dan terus kepikiran," kata dia waktu itu.

Dan untuk pertama kalinya dalam perjalanan video game saya, saya memiliki konsol game Nintendo yang asli. Rasanya waktu itu begitu bahagia. Keinginan saya untuk bisa merasakan Tetris DS dan game-game NDS lainnya di konsol aslinya akhirnya terwujud. Kebahagiaan itu sempat saya ungkapkan dalam artikel bersambung dua edisi yang saya tulis di sini, dan di sini. Rasanya waktu itu puas sekali bisa memainkan game-game keren NDS on the go di mana saja dalam konsol aslinya.

Tetris DS menjadi awal keinginan saya membeli konsol Nintendo.
Memiliki NDS membuat cita-cita saya untuk setidaknya memiliki satu konsol game Nintendo akhirnya terwujud. Keinginan saya untuk bisa memiliki NDS sebelum memasuki usia kepala tiga akhirnya terpenuhi. Sehingga buat saya waktu itu tidak ada lagi yang saya inginkan dalam memenuhi hasrat video game saya. Karena semua itu sudah dipuaskan dengan bermain NDS. Game-gamenya ada sangat banyak dan bagus-bagus, bahkan sampai sekarang masih begitu banyak judul menarik yang belum saya mainkan.

Namun ternyata memiliki NDS bukan akhir. Memiliki NDS malah menjadi pintu dari bangkitnya kembali keinginan memiliki 3DS yang terpendam sangat lama. Entah bagaimana ceritanya, namun di 2018, keinginan untuk memiliki 3DS menyeruak begitu saja seakan tak mampu lagi dibendung oleh kontrol diri ini. Keinginan itu seolah meraung-raung, meminta untuk dipenuhi. Apalagi harga 3DS sudah relatif lebih murah bila dibandingkan saat pertama kali dirilis dahulu.

Keinginan itu semakin menjadi-jadi ketika beberapa game 3DS pelan-pelan "merasuki" pikiran saya. Pasalnya iklan dari game-game 3DS itu beberapa kali saya lihat baik media sosial maupun di YouTube. Tak ayal dengan gameplay seru dan menarik yang ditampilkannya, keinginan untuk bisa memainkan game-game itu pun muncul begitu saja. Saya akui sebagaimana NDS, Nintendo 3DS memiliki segudang game berkualitas yang seru, inovatif, dan menawan untuk dimainkan.

Pokemon Ultra Moon, salah satu game yang sangat ingin saya mainkan di 3DS.
Shovel Knight, Donkey Kong Country, Final Fantasy Explorers, Pokemon Ultra Moon, Metroid Prime: Federation Force, Kirby Battle Royale, Mario Kart 7, dan Etrian Mystery Dungeon, merupakan sederet game yang terus-menerus "berbicara" dalam benak saja. Membujuk saya untuk berupaya agar bisa memainkan mereka dalam konsol 3DS yang sebenarnya. Dan memang saya akui, game-game tersebut benar-benar menggoda iman. Saya sangat ingin memainkan semuanya!

Well, di tahun 2018 sejatinya emulator untuk 3DS yaitu Citra, sudah cukup powerful untuk bisa memainkan game-game 3DS. Akan tetapi pengalaman setelah memainkan game di konsol NDS yang asli, entah kenapa membuat saya membuang jauh-jauh pikiran untuk memainkan 3DS di emulator. Karena sensasinya tentu jauh berbeda dibandingkan di konsol aslinya, juga tidak ada efek 3D. Apalagi ditambah betapa ribetnya memainkan game ini lewat emulator dengan segala ketidaksempurnaan yang muncul. Pun ditambah ukuran file game 3DS yang terbilang besar-besar, tak muat dalam memori ponsel saya yang sudah terkuras oleh beragam aplikasi.

Alhasil, game-game tersebut sukses membujuk saya untuk menetapkan hati membeli 3DS. Sekali lagi istri saya mendukung, dan saya sangat bersyukur. Tetapi dalam pemenuhannya, saya berupaya tidak memaksakan diri. Karena bagaimanapun sebagai kepala keluarga, kebutuhan keluargalah yang terpenting. Maka saya selalu menunggu-nunggu datangnya kesempatan itu, ketika uang saya mencukupi untuk membeli 3DS.

Dua konsol idaman saya yang akhirnya terbeli.
Kesempatan itu sebenarnya datang di awal 2019, ketika saya mendapatkan uang lebih yang bisa saya paksakan untuk membeli 3DS. Namun sayangnya, kepindahan mendadak saya ke Jawa membuat uang tersebut pun dialihfungsikan untuk kebutuhan lain, untuk bertahan hidup. Peluang emas yang sudah di depan mata itu pun sirna begitu saja. Saya masih harus memendam kembali keinginan saya tersebut, sementara hasrat untuk memiliki 3DS ini semakin tak tertahankan saja.

Pada akhirnya, setelah menabung, menyisihkan uang dari melakukan pekerjaan sampingan yang cukup melelahkan, terkumpullah sejumlah uang. Saya putuskan menggunakan uang itu untuk membeli 3DS. Tak boleh lagi ditunda-tunda, karena bagaimanapun usia saya semakin menua dari waktu ke waktu. Saya tidak mau ada penyesalan di masa tua saya nanti, penyesalan karena tidak mampu membeli sesuatu yang sangat ingin saya miliki di masa muda.

"Kalau mau beli ya beli, tidak usah pikir-pikir. Daripada nanti menyesal dan terus kepikiran," demikian kata-kata istri saya yang menjadi motivasi saya untuk memenuhi keinginan masa muda saya yang begitu lama terpendam. Tak ada salahnya menghibur diri sendiri di sela berbagai masalah kehidupan dan pekerjaan yang terjadi. Karena buat apa saya mencari uang bila saya tidak bisa membahagiakan diri saya sedikit saja dengan uang tersebut.

Add friend code saya ya, siapa tahu ada yang mau main bareng.
Setelah memastikan kebutuhan keluarga saya terpenuhi terlebih dahulu, hasil jerih payah saya itu lalu saya belanjakan. Dan pada November 2019 lalu, dua tahun setelah saya membeli NDS, akhirnya saya berhasil memiliki Nintendo 3DS yang telah saya idamkan sejak hampir satu dekade lalu, sejak saya masih di bangku kuliah. Saya membeli 3DS Reguler orisinal (bukan refurbish) seken fullset dengan warna Aqua Blue yang mentereng.

Harganya jauh lebih murah dibandingkan saat saya pertama kali menginginkannya dahulu, mengingat barang seken, bukan barang baru dan juga harganya yang tentu mengalami penurunan seiring perjalanan waktu. Meski seken, namun kondisinya masih sangat bagus, sangat terawat seperti baru, walaupun ada minus pada tombolnya tetapi tidak berpengaruh pada keseruan permainan. Video unboxing-nya bisa dilihat di channel YouTube saya di sini (klik).

Saya memang sengaja membeli 3DS Reguler, atau model pertama (old) yang berukuran kecil, karena menurut saya lebih ringkas dibandingkan model keduanya, 3DS XL. Sebagai orang yang kerap bepergian, saya lebih suka konsol yang ukurannya ringkas dan mudah dibawa ke mana-mana. Dalam hal ini 3DS Reguler adalah pilihan yang tepat. Toh tak ada perbedaan yang signifikan bila dibandingkan dengan 3DS XL yang layarnya lebih besar.

Pada akhirnya saya bisa memainkan game-game 3DS tersebut pada konsol aslinya. Termasuk bermain secara online yang rasanya begitu mengasyikkan. Pada akhirnya pula saya bisa merasakan sensasi efek stereopic 3D yang sempat menarik perhatian saya saat konsol ini pertama kali diperkenalkan. Inilah yang menjadi alasan saya lebih memilih 3DS ketimbang 2DS, ya walaupun saya akui saya juga ingin memiliki 2DS yang banyak disebut lebih nyaman dalam genggaman, di samping bentuknya yang aneh.

Metroid Prime: Federation Force kondisi baru segel dengan harga yang sangat murah.
Bukan hanya konsolnya, saya juga membeli kaset 3DS original pertama saya, Metroid Prime: Federation Force. Selain keinginan untuk bisa memiliki konsol asli Nintendo, saya juga punya keinginan memiliki kaset game original dalam wujud fisik, setidaknya satu seumur hidup. Maka ketika saya menemukan ada kaset game 3DS kondisi baru dalam harga yang sangat murah, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan lagi untuk bisa memilikinya. Video unboxing dari Metroid Prime: Federation Force tersebut bisa dilihat di sini.

Wew, lumayan panjang ya ceritanya. Pada intinya merupakan sebuah kepuasan sendiri bagi saya, Retro Lukman Gamer Jalanan, bisa memenuhi keinginan saya yang telah lama terpendam. Apalagi selama ini saya tidak pernah berkeinginan memiliki barang-barang mewah tertentu seperti kebanyakan orang. Yang ingin saya miliki hanya konsol Nintendo, dalam hal ini Nintendo 3DS, yang kini sudah saya genggam setelah hampir satu dekade menginginkannya.

Saya berdoa semoga konsol ini bisa awet, sehingga bisa menemani saya, menghibur saya ketika sedang suntuk, stres, bermasalah, atau jauh dari keluarga. Saya berharap pula konsol ini menjadi konsol terakhir yang saya inginkan, mengingat saya tak lagi memiliki banyak waktu serta ketertarikan untuk memainkan video game, tidak seperti semasa muda dahulu. Saya pikir Nintendo 3DS akan menjadi pemberhentian akhir saya.

Bermain Mario Kart 7 secara online. Ternyata masih ramai.
Lantas bagaimana dengan Nintendo Switch (atau Switch Lite), konsol hibrida penerus Nintendo 3DS (dan Wii U)? Dalam catatan saya sebelumnya, saya sempat mengutarakan keinginan untuk memiliki Switch. Namun saya rasa keinginan itu tidak akan terpenuhi, setidaknya dalam waktu dekat, mengingat sejauh ini belum ada game di Nintendo Switch yang membuat saya menginginkan konsol hibrida kekinian dari Nintendo. Belum lagi harga konsol dan gamenya yang masih relatif mahal menurut saya.

Untuk membeli 3DS saja saya butuh waktu yang lama hampir satu dekade, apalagi Switch. Mungkin seperti NDS dan 3DS yang saya beli, bisa jadi saya akan memiliki Switch setelah beberapa tahun kemudian, ketika konsol penggantinya sudah muncul. Kalaupun pada akhirnya saya memutuskan membeli Switch, saya akan lebih memilih versi docking-nya ketimbang versi Lite. Karena saya sudah memiliki konsol portabel, maka buat saya tidak ada alasan untuk membeli yang lain. Saya akan lebih memilih Switch versi awal untuk dimainkan di televisi bersama keluarga.

Tetapi itu mungkin untuk cerita di lain waktu. Saat ini biarkan saya menikmati masa-masa indah bersama 3DS Aqua Blue yang saya idam-idamkan sedari dahulu. Masih ada begitu banyak game yang menanti untuk dimainkan baik di 3DS maupun di NDS, saya tidak boleh serakah dan boros. Sementara dengan kesibukan yang saya miliki saja sebenarnya akan butuh waktu sangat lama untuk menyelesaikan semuanya, cukup lama hingga Switch turun harga dan terbeli. Mungkin satu dekade lagi, siapa yang tahu.

Ya begitulah cerita tentang perjalanan saya membeli Nintendo 3DS. Kalau Sahabat Gamer sendiri bagaimana? Adakah pengalaman menarik dengan konsol 3DS ini? Apa kalian masih memainkan 3DS, atau sudah pindah ke Switch? Kalau masih main 3DS, jangan segan membagikan friend code kalian di kolom komentar ya. Saya Retro Lukman Gamer Jalanan, sampai jumpa lagi di tahun yang baru dan... Salam Gamer! (gj)

No comments:

Post a Comment