Wednesday, February 3, 2016

Satu Jam Bermain ‘Resident Evil 5’

(sumber gambar: playeressence.com)
Satu jam tidaklah cukup untuk bermain video game. Apalagi video game zaman sekarang memiliki rentang waktu permainan hingga berjam-jam dengan tingkat kesulitan yang memaksa kalian memainkannya berulang-ulang. Tapi satu jam cukup untuk memberikan kesan kepada gamer mengenai tampilan game tersebut, dari segi visual, audio, dan gameplay. Dan bagi saya, Gamer Jalanan, satu jam sudah cukup untuk mengetahui bagaimana keseluruhan permainan bakal berjalan, dan cukup waktu untuk menentukan melanjutkan permainan atau menghentikannya.

Kali ini saya akan mengajak kalian bermain game survival-horror Resident Evil 5 di PlayStation 3 (PS3) yang rilis tahun 2009. Ya itung-itung sembari menyambut hadirnya Resident Evil Zero HD Remaster Januari lalu. Resident Evil 5 merupakan game Resident Evil terlaris, namun katanya sih untuk urusan gameplay belum mampu mengalahkan Resident Evil 4. Bagi saya Resident Evil 5 adalah game keenam yang saya mainkan, setelah sebelumnya saya pernah memainkan Resident Evil: Director’s Cut, Resident Evil 2, Resident Evil 3: Nemesis, Resident Evil Gaiden, dan Resident Evil 4.


(sumber gambar: GameSpot)
Meski sudah pernah memainkan banyak game Resident Evil, namun hanya Resident Evil 2 yang pernah saya tamatkan, sementara yang lainnya hanya sekadar main mengingat saya terlalu takut untuk melanjutkan memainkan game-gamenya. Yeah, sebut saya penakut tapi Resident Evil benar-benar memiliki atmosfer horor yang mengerikan sekaligus membuat penasaran. Genre survival-horror sendiri bukanlah genre favorit saya, sehingga kalaupun saya memainkan game seperti ini lebih dikarenaken rasa penasaran ingin mencicipi bagaimana permainannya.

Kembali ke Resident Evil 5, terdapat beberapa opsi di start menu game ini meliputi Play Game, Records, Leaderboards, Library, dan Options. Entah apa fungsi opsi-opsi tersebut, tapi saat ini yang saya butuhkan hanya memainkan gamenya, dengan memilih Play Game. Layar berganti dengan opsi-opsi lainnya seperti Continue, Chapter Select, Join Game, Item Management, Bonus Features, dan Special Settings. Dari yang saya lihat, game ini memiliki fitur multiplayer via split-screen, mungkin pilihannya di Join Game. CMIIW.  Well, langsung saja saya memilih chapter select.

Saya pun mulai masuk ke chapter pertama, Chapter 1-1, dengan tiga pilihan tingkat kesulitan yang bisa dipilih yaitu Amateur, Normal, dan Veteran. Seperti biasa saya memilih tingkat normal sebagai awal. Setelah itu ada opsi pengaturan Network, meliputi Network Selection, Co-op Settings, dan Attack Reaction, dan saya pikir yang perlu saya lakukan adalah memilih Start Game. Dan lagi-lagi keluar layar opsi yang kali ini tentang pengaturan senjata dan perlengkapan yang dibawa. Untuk pembuka, karakter Chris memiliki satu pistol, satu senapan mesin, satu kotak peluru, dan satu health recovery. Sementara karakter Sheva memiliki satu pistol dan satu granat.

Layar loading menampilkan sejarah Resident Evil.

Setelah siap dengan arsenal yang dibawa dan memilih Ready, layar loading pun muncul. Uniknya, layar loading game ini dihiasi dengan cuplikan catatan sejarah dalam kronologi kisah Resident Evil yang diberi tajuk ‘History of Resident Evil’. Menurut saya, catatan dalam loading ini merupakan terobosan bagus dari Capcom selaku pembuat game ini. Bukan hanya catatan ini menjadikan loading tidak membosankan, melainkan juga para pemainnya termasuk saya bisa mengetahui bagaimana asal-usul merebaknya virus zombi dalam jagad Resident Evil. Sayangnya layar loading ini lenyap begitu cepat sebelum saya sempat membaca semua kalimat dalam paragrafnya.

Cutscene pembuka permainan lantas muncul, dengan sosok misterius berjubah hitam, bertopeng pula, berdiri di depan seorang negro yang tengah terduduk di lantai. Lelaki negro tampak kesakitan dengan tangan menggapai-gapai sosok misterius, namun dibiarkan saja oleh sosok misterius tersebut. Tiba-tiba mata lelaki negro itu menghitam, dan sesuatu yang menjijikkan, entah itu cacing atau akar atau apalah itu, muncul dari tubuh lelaki negro dan tampak menyelimut tubuhnya perlahan-lahan. Sementara sosok misterius perlahan berjalan meninggalkan lelaki negro yang mulai menjerit kesakitan.

Siapakah sosok misterius ini?
Cutscene tersebut diputar beriringan dengan adegan di tempat terpisah, di mana terdapat beberapa mobil jeep melaju di jalanan dan memasuki suatu kota. Jeep-jeep itu lantas berhenti, dan sekumpulan tentara keluar dari dalamnya, tampak bersiaga dengan sang komandan bernama Captain Dechant menyerukan ucapan bahwa mereka mengamankan rute bawah tanah sesuai koordinat. Yang terjadi berikutnya para tentara menutup pintu gerbang besar, seakan mengisolasi daerah tersebut.

Cutscene berikutnya menampilkan sebuah mobil jeep yang melaju di jalanan Afrika, yang ternyata dikemudikan oleh Chris Redfield, karakter utama game ini yang akan saya mainkan. Menurut saya kakak Claire Redfield sekaligus mantan polisi Racoon City ini merupakan tipikal karakter utama video game, gagah, ganteng, dan kuat. Pemilihan Chris sebagai karakter utama dalam Resident Evil 5 mungkin hal yang tepat, mengingat sejak game Resident Evil pertama, karakter ini belum mendapat kesempatan tampil kembali dalam franchise survival-horror ini. Rasanya sayang bila karakter keren ini terlupakan begitu saja.

Chris Redfield is back.
Dalam cutscene ini, Chris bertutur bahwa tidak lama setelah kejatuhan Umbrella Corporation, T-Virus disalahgunakan menjadi senjata biologis atau bio-weapons dan jatuh ke tangan teroris. Era baru bio-terrorism atau terorisme biologis telah dimulai dan merebak ke berbagai negara di dunia, mengganggu keseimbangan kekuatan pada negara-negara tersebut. Orang-orang pun takut insiden yang menimpa Racoon City kembali berulang. Ketika kepanikan terjadi, pemerintahan dunia mengadakan konsorsium global yang kemudian membentuk sebuah unit anti-terorisme dikenal dengan nama BSAA. Para agen BSAA ini dikirim ke berbagai wilayah konflik yang terindikasi adanya bioterrorist, mengembalikan keamanan dan stabilitas di wilayah-wilayah tersebut.

Narasi berakhir bersamaan dengan mobil Chris yang berhenti di sebuah kota di Afrika bernama Kijuju. Kedatangan Chris disambut perempuan kulit hitam bernama Sheva Alomar, yang akan mendampinginya memasuki wilayah tersebut. Sheva menjelaskan bahwa  dia akan menjadi partner Chris sepanjang misi di Kijuju. Hal ini rupanya mengingatkan Chris pada Jill Valentine, yang dalam cutscene tersebut digambarkan sudah meninggal. Chris dan Sheva pun mulai berjalan bersama memasuki kota hingga mereka terhenti di sebuah portal yang dijaga militer. Tentara di sana memeriksa Sheva lalu Sheva memberikannya uang, Chris dan Sheva dapat masuk ke dalam daerah tersebut, di mana seorang warga mengawasi kedatangan mereka.

Yeah Sheva, let's go!
Layar loading muncul dan, sebelum saya masuk ke chapter 1-1, saya ingin membahas sedikit mengenai Sheva Alomar. Sangat menarik melihat Capcom menghadirkan karakter perempuan berkulit hitam sebagai salah satu karakter utama game ini. Terbilang wajar memang, mengingat latar game ini terjadi di Afrika yang mayoritas warganya berkulit hitam. Dengan tujuan awalnya menjadi partner dari Chris, Sheva bisa dimainkan dalam opsi multiplayer serta bisa dimainkan dalam single-player setelah menyelesaikan permainan ini.

Saya cukup tertarik dengan karakter ini, yang menurut saya menawan, dengan wajah yang manis dan bodi yang seksi. Sekilas perawakan dan wajah karakter ini mirip dengan istri saya yang juga berkulit gelap. Istri saya sendiri mengiyakan ketika saya mengatakan dia mirip dengan Sheva. Ini membuat saya sempat membayangkan bahwa istri saya adalah Sheva, bedanya istri saya tidak sekuat Sheva. Dan Sheva pun menjadi salah satu karakter video game favorit saya.

Kembali ke permainan, kini saya mulai memasuki Chapter 1-1 Civilian Checkpoint. Chris dan Sheva berjalan memasuki wilayah kota, dengan beberapa orang negro tampak lalu lalang di jalanan. Ada sekelompok pria yang memukuli sesuatu seperti binatang di pinggir jalan, tapi tak ada yang bisa dijelaskan dari hal tersebut. Seorang operator bernama Kirk menghubungi Chris melalui radio, menjelaskan kondisi misi, di mana Chris dan Sheva diperintahkan menemui salah seorang kontak di Butcher Shop. 

Kota tiba-tiba lengang, seperti Resident Evil 4.
Anehnya, ketika Chris dan Sheva hampir tiba di tempat yang dimaksud, terdengar suara alarm. Warga kota yang tadi lalu lalang di jalanan secara mendadak hilang dari pandangan, meninggalkan jalanan yang kini menjadi begitu sunyi. Adegan ini mirip dengan adegan dalam Resident Evil 4, di mana warga desa juga mendadak pergi setelah mendengar suara genta. Entah apa artinya alarm ini, tapi jelas bukan merupakan hal yang baik. Kendali permainan kembali ke saya, dengan progres tersimpan secara otomatis secara checkpoint. Saya pun memasuki Butcher Shop dan bertemu dengan laki-laki berpakaian sorban ala tuareg.

Laki-laki itu menjelaskan detail misi sekaligus memberikan sekoper senjata untuk digunakan. Laki-laki itu menyebutkan lokasi Town Square yang mesti saya tuju untuk bisa bertemu dengan Alpha Team yang sudah lebih dulu ada di lokasi. Kemudian laki-laki itu menanyakan tentang Uroboros, yang oleh Chris dijawab bahwa itu merupakan sebuah rumor. Laki-laki itu lantas menyatakan bahwa Uroboros bukanlah rumor dan meminta saya, atau tepatnya kami mungkin ya, menemui pria bernama Irving yang katanya merupakan satu-satunya petunjuk saat ini. Setelah mengatakannya, laki-laki itu pun pergi.

Sudut pandang third-person.
Saya pun melanjutkan permainan mengikuti arah yang ditunjuk dalam peta sembari memunguti item-item yang bisa diambil, mulai dari coin, peluru, dan herb. Tombol perintah akan muncul saat saya berada di dekat item-item itu, dan mesti ditekan untuk mengambilnya. Ada juga yang tersimpan di dalam peti dan wadah, yang mesti dibuka terlebih dulu untuk bisa mengambilnya. Tombol-tombol perintah ini juga muncul di layar untuk beberapa kondisi, salah satunya membuka pintu. Kontrol ini bukan hal yang baru bagi saya, mengingat sebelumnya saya juga pernah memainkan Resident Evil 4 yang memiliki kontrol sama dengan game ini.

Kami kemudian tiba di sebuah ruangan dengan suara jeritan. Ketika kami masuk ke dalamnya, tampak dua orang lelaki tengah memaksa memasukkan gumpalan sesuatu yang menjijikkan, serupa parasit ke dalam mulut seorang lelaki yang terbaring di lantai. Setelah berhasil memasukkan parasit itu, dua laki-laki itu langsung pergi keluar dari ruangan begitu saja, meninggalkan lelaki malang yang tiba-tiba bergerak tak terkendali dan darah keluar dari matanya. Laki-laki itu lantas menyerang kami, dan untuk pertama kalinya saya menembakkan pistol yang sedari tadi tak sabar digunakan.

Sasaran tembak pertama saya.
Kontrol menembak dalam Resident Evil 5 masih sama dengan kontrol yang ada pada Resident Evil 4, dengan beberapa penyesuaian tentunya. Pada awal-awal permainan saya sempat kesulitan menyesuaikan dengan kontrolnya, membuat saya salah menekan tombol. Saya sering keliru dalam menggerakkan kursor menembak dengan kursor untuk bergerak. Kontrolnya memang terasa sulit saat pertama kali memainkannya, namun saya yakin akan terbiasa seiring berjalannya permainan.

Saya tidak punya pilihan selain menghabisi lelaki itu. Chris mengatakan lelaki itu tampak seperti zombi yang dulu pernah dilawannya. Kami pun bergerak mengejar dua laki-laki tadi yang tampaknya sudah berada jauh. Kami menelusuri ruangan-ruangan dengan item-item yang ada di sekitarnya. Jalan keluar satu-satunya rupanya telah dikunci dari luar, membuat kami mesti keluar melompat dari jendela. Saat berada di luar, tak lama berjalan tiba-tiba muncul orang-orang yang tampak marah dan mengejar kami.

Orang-orang ini tiba-tiba mengamuk dan mengejar kami.
Orang-orang ini berupaya menghentikan kami, saya tidak tahu apa mereka sudah menjadi zombi, mungkin sejenis Las Plagas yang ada di Resident Evil 4. Saya pikir saya mesti menghabisi orang-orang ini, namun saya salah. Kami berupaya menyingkirkan mereka dengan menembakinya satu-persatu, tapi tampaknya mereka terus-menerus muncul hingga pada akhirnya saya terbunuh. Ini adalah kematian saya yang pertama dalam game ini, di mana saat layar game over muncul, tampak gambar para warga yang mengerumuni saya dan terus-menerus menyerang saya dengan brutal. Well, ini layar game over yang menarik.

Saya kembali ke checkpoint terakhir, dan kembali mencoba membunuh semua zombi yang ada. Lagi-lagi berakhir dengan game over. Lantas saya menyadari bahwa yang perlu saya lakukan ternyata adalah melarikan diri dri kejaran para zombi ini. Bila saya menyadarinya dari awal, tentu saya tidak akan membuang-buang waktu. Padahal Sheva sudah mengatakan bahwa kami mesti pergi dari sana dan mencari perlindungan. Mungkin ketegangan membuat saya tidak memperhatikan dialognya.

Scene game over yang mengerikan.
Kami kemudian berlindung di dalam sebuah rumah, dengan Sheva langsung mengunci pintu rumah dengan palang kayu. Di dalam rumah, Chris menghubungi Kirk dan melaporkan orang-orang yang berniat menyerang kami. Dalam hal ini, kami tidak punya pilihan selain menembak untuk membela diri. Tapi Kirk mengatakan agar kami tetap melanjutkan misi. Di dalam rumah, kami membuka paksa sebuah pintu besi dan masuk ke dalam sebuah ruangan di mana ada sebuah kapan berukuran sangat besar tertancap di kayu, dengan potongan organ tubuh yang menyerupai otak. Sangat menjijikkan.

Kami melanjutkan menyusuri ruangan dan turun ke bawah ke sebuah lorong bawah tanah. Kami berjalan menyusuri lorong tersebut hingga tiba di sebuah tangga, naik ke atas dan tiba di sebuah ruangan. Beberapa item tersedia di ruangan ini seperti peluru dan herb. Dan saat kami mencoba membuka pintu yang ada di ruangan ini, layar loading muncul. Setelahnya, kami kembali berada di luar ruangan dan game saya tersimpan otomatis. Saya melanjutkan menelusuri jalan yang ada, turun dan tiba di sebuah rumah.

Orang-orang ini gila.
Saat kami melangkah masuk ke dalam rumah, cutscene berputar dimana kami menyaksikan dari dalam rumah melalui jendela, sebuah situasi yang sangat mengerikan terjadi di luar, di sebuah panggung tinggi berpondasi kayu. Tampak para warga yang marah tengah berkerumun di bawah, mengelilingi seorang lelaki negro berkacamata hitam yang berbicara melalui toa. Lelaki berpakaian sorban yang sebelumnya berbincang dengan kami tampak berlutut di depannya, dengan dua orang memegangi kedua tangannya.

Di sampingnya ada seorang lelaki besar berpakaian algojo dengan kepala tertutup dan tubuh penuh paku, tengah memegang kapak berukuran besar. Tampaknya algojo itu akan memenggal kepala lelaki bersorban. Sheva mengenali lelaki bersorban, namun Chris mencegahnya untuk bergerak. Yang terjadi kemudian algojo memenggal kepala lelaki bersorban, disambut sorakan orang-orang di sekitarnya. Sementara lelaki negro berkacamata hitam melihat kami yang tengah berada di dalam rumah. Dia lalu memerintahkan orang-orang untuk menyerang kami. 

Ini dia si provokator.
Orang-orang itu lantas berbalik dan berlari ke arah kami dengan pandangan yang mengerikan, mata merah, dan tampaknya mereka telah berubah menjadi zombi, Las Plagas, atau apalah istilah yang tepat untuk menggambarkan mereka. Sebentar, setelah saya cek Wikipedia, ternyata orang-orang yang terinfeksi parasit itu dalam game ini disebut ‘Majini’. Tapi masa bodoh, yang pasti mereka berbahaya. Dan mengingat persepsi banyak gamer mengenai Resident Evil adalah game tentang zombi, maka saya akan menyebutnya zombi saja. Zombi majini.... oke, hanya zombi.

Yang terjadi berikutnya adalah checkpoint, dan saatnya kami untuk beraksi mempertahankan diri. Para zombi itu mengepung kami dan mulai masuk ke dalam rumah untuk menyerang kami. Ada banyak item di dalam rumah yang cukup membantu, peluru dan herb, serta ada pula lemari yang bisa digeser untuk menghalangi dan memperlambat pergerakan para zombi. Pada akhirnya saya mesti menembaki para zombi yang telah masuk ke dalam rumah dan bertahan sebisa mungkin. 

Elemen kooperatif dengan Sheva Alomar.
Resident Evil 5 menghadirkan mode single-player dengan elemen kooperatif dengan AI player, dalam hal ini Sheva Alomar. Sheva yang digerakkan komputer turut membantu menembaki para zombi yang datang menyerang. Dia juga bisa membantu melindungi saya bila diperlukan, misalnya ketika saya tengah berada dalam bahaya dikunci zombi atau tak sadarkan diri. Pun dia bisa disuruh untuk mengambil item-item apabila tas bawaan saya sudah penuh.

Selain menembak, saya juga bisa menyerang zombi dengan kepalan pukulan ataupun tendangan, tergantung posisi dimana saya berada. Rasanya cukup menyenangkan melayangkan bogem menhajar zombi-zombi ini, tapi hal ini membutuhkan presisi yang tepat untuk melakukannya. Seperti Resident Evil 4, para zombi ini mengancam dengan membawa benda-benda tajam dan benda-benda berbahaya lainnya. Saat kepala mereka tertembak, kepalanya akan hancur dan tampak seperti gurita dari lehernya. Setelah itu zombi ini jatuh dan muncul lenyap dalam gumpalan lendir.

Butuh herb untuk bertahan hidup.
Nyatanya zombi-zombi ini seakan terus muncul dan tak habis-habis. Bahkan mereka kini menjebol langit-langit. Tak ada pilihan selain keluar menyelamatkan diri, tapi itu pun bukan pilihan yang tepat mengingat di luar justru ada begitu banyak zombi siap membunuh kami. Sedangkan satu-satunya gerbang yang bisa jadi jalan keluar malah terkunci. Chris melaporkan kegilaan ini pada Kirk dan Kirk mengatakan bantuan akan segera datang. Dia meminta kami untuk bertahan lebih lama lagi. Tapi bertahan lebih lama bukanlah hal yang mudah, mengingat zombi-zombi ini terus-menerus berdatangan seakan tiada habisnya, sementara peluru dan herb yang kami miliki begitu terbatas.

Kalau itu belum cukup, selain zombi kami juga mesti menghadapi algojo bertubuh besar yang berjalan sembari menyeret kapak raksasa. Yeah, dia algojo yang tadi mengeksekusi lelaki bersorban. Dia begitu sulit ditaklukkan, setiap tembakan seakan tidak mempan. Sementara dia memiliki serangan yang sangat mematikan saat dia mengayunkan kapaknya yang berat itu, yang akan mengurangi hit point kami dengan begitu signifikan. Dan kemanapan kami berlari untuk menyelamatkan diri, para zombi beserta algojo itu selalu bisa mengejar. Kami benar-benar terperangkap.

Algojo ini mengerikan.
Tidak cukup amunisi dan obat membuat saya berkali-kali tewas. Bukan hanya saya, tapi Sheva pun juga harus bisa bertahan hidup dan saya mesti melindunginya. Karena bila si seksi itu tewas, permainan saya juga akan berakhir. Saya sudah mencoba berbagai cara untuk bisa bertahan sembari menunggu bantuan datang. Baik itu dengan berlari ke tempat yang lebih luas, ataupun terus menerus menembak zombi satu-persatu. Tapi selalu saja berakhir dengan kematian. Terhitung sebanyak lima sampai enam kali saya meregang nyawa di sini, membuat saya frustrasi karena waktu yang terbuang sia-sia setiap kali saya mengulang permainan. Saya khawatir satu jam berakhir sebelum saya sempat menyelesaikan chapter ini.

Beruntung pada akhirnya saya belajar dari kesalahan dan memikirkan langkah untuk bisa bertahan hidup selama mungkin. Dan yang terpenting lagi, saya mesti berada sejauh mungkin dari si algojo karena dia memiliki serangan yang sangat mematikan. Kemudian saya melihat sebuah bus rongsokan yang ada di luar dan memasukinya. Saya tidak tahu yang saya lakukan, tapi dengan masuk ke dalam bus, akan lebih mudah untuk menghabisi para zombi yang datang menyerang. Dan rupanya, algojo tidak bisa memasuki bus ini. Itu memberikan keuntungan kepada saya, sehingga kini saya tinggal berfokus pada para zombi.

Kondisi darurat yang membutuhkan respon cepat.
Meski sudah berada di dalam bus, toh para zombi itu tetap membuat saya kewalahan. Mereka beberapa kali berhasil menyerang kami dan menghabiskan peluru saya. Untungnya beberapa zombi yang mati meninggalkan peluru yang bisa saya ambil dan saya gunakan mengisi pistol saya. Terkait mengisi ulang peluru ini sempat membuat saya kesulitan. Karena saya mesti melakukan pergantian senjata berulang kali untuk setiap peluru yang tersisa. Selain itu saya juga mesti menyelamatkan Sheva ketika zombi tengah mengancamnya.

Pada akhirnya Kirk menghubungi dan mengatakan bahwa mereka sudah tiba. Kirk memerintahkan kami untuk mencari tempat berlindung karena mereka akan memborbardir lokasi kami dengan bom. Cutscene bergulir, dengan sebuah helikopter terbang di atas kami dan pilotnya memerintahkan untuk berlindung. Seorang tentara di dalam helikopter lantas mengarahkan peluncur roketnya ke arah para zombi dan menembakkannya, menyingkirkan para zombi berikut algojo itu untuk selamanya. Dan yeah, setelah mencoba berulang kali saya berhasil bertahan dalam serbuan zombi. Chapter 1-1 berakhir, bersamaan dengan waktu satu jam saya memainkan Resident Evil 5.

Bantuan akhirnya datang.
Yup, satu jam telah terlewati dan sekarang saatnya untuk memberikan kesimpulan terhadap game ini. Sebagaimana game buatan developer ternama, Resident Evil 5 hadir dengan grafis yang sangat bagus. Bisa dibilang memaksimalkan kemampuan PS3. Setting siang hari dalam game ini tampak begitu hidup, seolah apa yang saya lihat adalah sebuah kenyataan. Dua karakter utama game ini, Chris dan Sheva digambar dengan begitu detail, khususnya Sheva. Seperti yang saya katakan sebelumnya, penggambaran Sheva terlihat begitu hidup, begitu seksi. Karakter-karakter lainnya seperti zombi pun terlihat detail, walaupun tak bisa dimungkiri ada perulangan karakter zombi sebagaimana dalam Resident Evil 4, tapi itu wajar.

Suasana lingkungan di kawasan Afrika tergambar begitu baik. Hal ini terlihat dari penggambaran rumah-rumah dan bangunan yang ada, baik dari sisi luar maupun dari sisi dalam. Capcom tampaknya tak main-main dalam menggambarkan setiap properti pengisi ruangan dalam game ini. Semuanya terlihat begitu detail, mengingatkan saya pada film-film perang Hollywood yang berlatar Afrika seperti Black Hawk Down. Termasuk pula penggambaran hal-hal menjijikkan dalam game ini, seperti organ tubuh dan makhluk parasit. Semuanya terlihat seperti nyata dan membuat mual.

Saya tidak tahu apa ini, tapi jelas ini menjijikkan.
Dari segi suara saya rasa lumayan, maksudnya tidak ada kekurangan yang bisa saya temukan. Dialog-dialog yang terjadi di sepanjang satu jam permainan saya memgalir dengan baik. Voice acting Chris dan Sheva tidak mengecewakan, pun dengan karakter-karakter lainnya termasuk zombi. Suara zombi yang mengamuk rasa-rasanya begitu nyata, menimbulkan kepanikan tersendiri saat mendengarnya. Suara-suara serta efek tembakan dan ledakan terdengar alami, yang semakin menghidupkan suasana kepanikan dalam serbuan zombi.

Dari segi narasi jangan ditanya, serial Resident Evil seakan selalu punya ruang dalam menghadirkan drama yang bakal membawa gamer jauh ke dalam permainan. Meski saya hanya bermain dalam waktu satu jam, namun saya sudah bisa merasakan bakal seemosional apa game ini. Cuplikan-cuplikan cutscene yang berputar pada titik-titik tertentu dalam permainan membantu penceritaan game ini dengan begitu baik. Beberapa di antaranya membuat penasaran, dan beberapa lainnya cukup mengagetkan.

Jill Valentine is dead?
Dan adegan yang terbilang paling mengagetkan saya dalam satu jam permainan ini mungkin adalah adegan saat algojo memenggal kepala lelaki bersorban. Memang adegan ini tidak diperlihatkan secara vulgar, namun rasanya berhasil memunculkan sebuah perasaan takut dan khawatir. Terus terang saja sedikit cerita dalam satu jam ini membuat saya penasaran dan ingin kembali memainkan game ini sampai selesai. Tentu salah satu hal yang membuat penasaran adalah siapa sosok misterius bertopeng dan tentang Jill Valentine, yang dalan kilas balik Chris digambarkan telah meninggal dunia.

Resident Evil 5 memiliki gameplay yang kurang lebih sama dengan Resident Evil 4, yaitu third-person shooter dengan perspektif over-shoulder. Selain bisa menggunakan berbagai macam senjata, saya juga bisa melakukan melee attack atau serangan jarak dekat yang meliputi pukulan uppercut dan tendangan somersault. Untuk menghindari serangan musuh, saya bisa berbalik 180 derajat. Melihat kesuksesan Resident Evil 4, bisa dimaklumi bila Capcom kembali menggunakan gameplay dan perspektif yang sama pada Resident Evil 5. 

Perspektif over-shoulder.
Namun entah mengapa kali ini gamenya terasa lebih condong ke action-shooter ketimbang survival-horror, genre yang dipopulerkan Resident Evil. Apalagi fitur save game ikonik serial ini dalam wujud mesin ketik atau typewriter dengan jumlah save terbatas tidak ada dalam Resident Evil 5, digantikan auto save di setiap checkpoint yang menjadikan permainan terasa lebih mudah dibandingkan game-game sebelumnya. Padahal save game dengan konsep ini masih ada di Resident Evil 4.

Kontrol dalam game ini mungkin terasa familiar untuk mereka yang pernah memaikan Resident Evil 4. Tak banyak yang berubah, tombol-tombol aksi masih serupa, hanya saja kini ditambah dengan elemen kooperatif. Ya walaupun mungkin kontrolnya akan terasa mudah bagi para penggemar Resident Evil, tapi tetap saja saya sulit untuk terbiasa dengan skema kontrol ini. Saya sering kebingungan saat menggerakkan joystick analog, sering keliru antara analog untuk mengarahkan pistol dengan analog untuk menggerakkan kamera. Tapi saya yakin bila saya cukup lama memainkan game ini saya akan terbiasa.

Layar seleksi senjata dan item.
Bagi baru pertama memainkan game Resident Evil juga jangan khawatir, karena tombol-tombol aksi ini akan yang diperkenalkan pada awal-awal permainan. Selain tombol-tombol pakem untuk menembak atau berlari, terdapat pula perintah-perintah yang muncul tiba-tiba sebagaimana dalam Resident Evil 4. Baik untuk mengakses pintu atau item maupun untuk suatu kondisi tertentu. Kondisi tertentu itu adalah kondisi bahaya dan mengancam, dan saya mesti menekan tombol yang tertera di layar untuk bisa lolos dari situasi tersebut.

Misalnya apabila tiba-tiba zombi mengancam saya dengan mendekap saya, layar akan berganti fokus menampilkan efek dramatis dan tombol yang mesti saya tekan untuk menyelamatkan diri. Terkadang saat saya gagal mengeksekusi tombol, biasanya Sheva akan datang menolong. Pun begitu, ada kalanya ada perintah agar saya menyelamatkan Sheva yang tengan dalam bahaya dengan menekan tombol-tombol tertentu. Menyelamatkan Sheva terbilang penting karena bila dia tewas, maka permainan akan berakhir.

Kehadiran Sheva memperkaya Resident Evil.  (sumber gambar: insidepulse.com)
Adanya fitur kooperatif dalam wujud Sheva Alomar sendiri bisa jadi pisau bermata dua bagi game ini. Di satu sisi Sheva semakin memperkaya gameplay Resident Evil, namun di satu sisi bisa merepotkan pemain, khususnya para gamer perfeksionis. Pergerakan Sheva yang lambat seringkali dikeluhkan para gamer yang memainkan game ini, namun saya tidak melihatnya sebagai sebuah kelemahan. Saya melihatnya sebagai sebuah elemen permainan yang menjadikan game ini lebih realistis. Artinya sebagaimana aksi di kehidupan nyata, saya tidak mengharapkan semua karakternya sempurna. Dan ini memberikan tantangan tersendiri untuk bisa menyelesaikan misi bersama Sheva sebagai partner.

Kesimpulannya, Resident Evil 5 merupakan sebuah pengalaman baru bagi penggemar serial ini. Gamenya bagus dan seru, apalagi didukung grafis yang keren serta gameplay yang inovatif. Meski begitu saya mungkin sependapat dengan mayoritas gamer dunia yang mengatakan Resident Evil 5 telah melenceng dari genre survival-horror yang dipopulerkan serial ini. Kenyataannya, saya sama sekali tidak merasa takut saat memainkan game ini. Padahal saat memainkan game-game Resident Evil terdahulu, saya selalu merasakan suatu ketakutan dan ketegangan yang membuat saya ingin berhenti memainkannya.

Resident Evil 5 berat di action.
Perasaan itu tidak terjadi di Resident Evil 5, saya justru semakin antusias untuk memainkannya terus-menerus dan menembaki para zombi yang ada. Memang sih ada elemen ketegangan dan keterkejutan, tapi tak ada elemen ketakutan yang menjadi roh dalam serial Resident Evil. Selain elemen action yang tampak lebih banyak, mungkin hal ini juga dikarenakan latar waktu permainan yang kini berganti menjadi siang hari, di tengah teriknya matahari. Pemilihan siang hari bukan hal yang salah, saya sadar itu adalah sebuah terobosan baru, tapi entah kenapa rasanya hal itu turut mengurangi atmosfer mengerikan dari game ini.

Akhirnya, setelah satu jam bermain, saya pikir saya akan kembali memainkan game ini bila kondisinya memungkinkan. Bagi saya ini terasa aneh, mengingat saya akan selalu berusaha menjauhi game-game Resident Evil yang selalu saja berhasil membuat saya ketakutan. Mungkin hal ini dikarenakan elemen action-nya yang terasa begitu kental dan juga atmosfernya yang tidak terasa mengerikan. Dan mungkin alasan lain kenapa saya ingin memainkan game ini lagi adalah Sheva Alomar. Yeah, saya jatuh hati dengan cewek hitam manis nan seksi ini. Dari skala 1 sampai 10, saya beri game ini nilai impresi 9 yang artinya sangat layak untuk dimainkan kembali. Dan mungkin ini pertama kalinya saya tidak takut memainkan game Resident Evil. (gj)

NB: Screenshot game diambil dari Youtube.

No comments:

Post a Comment