Monday, February 1, 2016

Hai Orang Tua, Jaga Kartu Kredit Kalian

(sumber gambar: foolcdn.com)
Pada sekadar catatan saya kali ini saya akan membahas mengenai kartu kredit. Ya saya sih belum punya kartu kredit, tapi saya hanya ingin mengingatkan kepada mereka yang punya ‘kartu ajaib’ ini untuk lebih berhati-hati menggunakannya. Kenapa? Karena akhir-akhir ini banyak kasus tagihan kartu kredit yang jebol karena microtransaction dalam video game. Yang sayangnya, baru disadari saat tagihan kartu kredit membengkak hingga puluhan juta!

Mengutip berita dari CumaGamer.com, setidaknya ada dua kasus yang terjadi di awal tahun ini yang cukup disayangkan terjadi. Ada seorang anak berumur 7 tahun di Inggris yang menggunakan akun iTunes sang ayah untuk membuat taman virtual miliknya dalam game ‘Jurassic World’. Rupa-rupanya sang anak mengetahui password akun iTunes milik sang ayah. Ketika semuanya sudah terlambat, baru diketahui dari permainan sang anak bahwa tagihan kartu debit atas microtransaction tersebut mencapai Rp 83 juta! 


Kasus kedua terjadi di Kanada, bedanya kali ini dilakukan remaja 17 tahun yang bermain game FIFA 16. Sang anak menyadari microtransaction yang terjadi saat dia memainkan FIFA 16, tapi dia tidak menyangka nilainya akan mencapai Rp 74 juta! Sang ayah pun kelabakan dan mempertanyakan pada perusahaan kartu kredit serta Microsoft. Tapi kenyataannya memang sudah terlambat dan tidak ada yang bisa dilakukan selain membayar tagihan atas dana yang sebenarnya sangat sia-sia.

FIFA 16(sumber gambar: gamespot.com)

Kartu kredit memang sudah menjadi sebuah kebutuhan pada masayarakat modern saat ini. Namun penggunaannya tanpa kontrol yang baik justru akan berbalik menyengsarakan penggunanya. Termasuk pada dua kasus di atas yang disebabkan transaksi video game yang sebenarnya sangat sia-sia. Usut punya usut, terjadinya dua kasus di atas merupakan kecerobohan pihak orangtua, dalam hal ini sang ayah yang selaku pemilik kartu kredit.

Memercayakan kartu kredit pada genggaman sang anak yang masih di bawah umur jelas sebuah kesalahan. Anak-anak pada usia tersebut khususnya kaum remaja kebanyakan belum mengerti urgensi dari penggunaan uang dengan bijak. Yang mereka tahu adalah kesenangan, salah satunya bermain video game. Mereka tidak sempat berhitung mengenai berapa yang akan mereka habiskan dan untuk apa semua uang itu mereka habiskan.

Seperti kasus di Kanada, remaja 17 tahun yang sadar akan transaksi yang dilakukannya saat bermain video game, tapi tak berhitung berapa yang akan dia habiskan. Dalam hal ini saya menyarankan kepada para orangtua untuk tidak sedikitpun memberikan akses kartu kredit kepada anak-anak. Kartu kredit itu seperti candu, semakin sering digunakan akan semakin menimbulkan perasaan senang karena bisa mendapatkan barang-barang dengan mudah, tanpa memikirkan apa akibat yang bisa ditimbulkannya.

Sementara kasus yang terjadi di Inggris berbeda latar belakangnya. Memang dalam hal ini sang ayah tidak memberikan akses kartu kredit kepada sang anak secara langsung, namun akun iTunes yang terbuka atau yang dikenali oleh sang anak membuka celah untuk itu. Sang anak yang baru berumur 7 tahun tentu tidak tahu jelas bagaimana mekanisme microtransaction dalam game berlangsung. Karena dalam pikiran anak seumur ini, yang mereka tahu hanya bermain video game. Ketika akses akun-akun penting seperti iTunes terbuka dalam gadget yang mereka gunakan untuk bermain game, atau ketika kata sandi pada akun-akun tersebut mereka kenal, maka peluang penyalahgunaan kartu kredit menjadi terbuka.

Orangtua harus mengawasi anaknya bermain gadget.  (sumber foto: freemake.com)

Apa yang terjadi di Inggris adalah sebuah kecerobohan dan bila sudah kejadian, tak ada yang bisa dilakukan kecuali melunasi tagihan yang penuh kesia-siaan tersebut. Tak ada guna bagi orangtua melayangkan protes pada perusahaan gadget, game, atau kartu kredit, karena tidak ada satu pun ketentuan yang dilanggar oleh perusahaan-perusahaan ini. Sang empunya kartu sudah menyepakati syarat dan ketentuan yang ada, jadi tagihan yang membengkak karena kecerobohan jelas merupakan tanggung jawab mereka sendiri.

Di sini bisa saya simpulkan, dibutuhkan kesadaran di kalangan orangtua modern khususnya pemilik kartu debit atau kartu kredit akan pentingnya melindungi akun-akun mereka. Walaupun keluarga sekalipun, anak atau istri, perlu disadari benar bahwa akun-akun yang mereka miliki di dunia maya adalah milik mereka sepenuhnya yang perlu dilindungi. Memberikan kata sandi hanya berlaku kepada orang-orang yang sudah dewasa dan memiliki tanggung jawab, bukan pada anak-anak yang penuh ketidaktahuan.

Dalam hal ini, pastikan bahwa akun-akun penting yang memiliki konektivitas pada kartu kredit atau yang berhubungan dengan penggunaan uang sudah dalam kondisi nonaktif saat gadget berpindah tangan atau saat komputer selesai digunakan. Hal ini semata-mata untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan baik yang tidak sengaja sebagaimana kasus di Inggris maupun yang sengaja dilakukan, misalnya oleh para peretas yang iseng atau penjahat keuangan.

Pun, perlu adanya pendidikan kepada anak-anak kita mengenai penggunaan uang dengan bijak. Pemakaian uang dengan bijak ini bukan sekadar pada uang yang tampak saja, melainkan hal yang juga berlaku pada uang yang tidak tampak, dalam hal ini kartu kredit. Perlu diajarkan kepada anak-anak mengenai berbagai bentuk uang dan metode pembayaran dan bagaimana menggunakannya dengan bijak.

Serta anak-anak harus diajarkan meminta izin terlebih dahulu bila ingin melakukan hal-hal yang berhubungan dengan uang dalam jumlah yang banyak. Dalam kesempatan ini, orang tua bisa memberikan pengertian kepada anaknya tentang apa yang semestinya dilakukan. Dengan begitu, anak-anak akan tahu dan paham mengenai apa yang akan dilakukannya dalam penggunaan uang tersebut. Anak-anak akan berpikir terlebih dahulu sebelum membuat sebuah keputusan.

Kira-kira beginilah logika DLC dan microtransaction. (sumber gambar: forbes.com)

Di masa video game sekarang ini memang microtransaction atau transaksi dalam bermain video game sudah menjadi sesuatu yang umum. Microtransaction memiliki dampak positif memberikan keuntungan tambahan bagi para publisher game sehingga mereka bisa bergerak dan menciptakan game-game baru. Namun di satu sisi hal ini juga berefek negatif yaitu pemborosan dan bila tanpa pengawasan akan berakhir seperti dua kasus di atas.

Saya sendiri secara pribadi tidak suka dengan metode microtransaction sebagaimana yang wajar ditemukan dalam berbagai game modern saat ini. Saya lebih suka membeli sebuah game secara kontan di awal lantas memainkannya sepuasnya, tanpa mesti membayar biaya tambahan untuk konten-konten tambahan. Dahulu video game adalah sebuah kesatuan seharga game yang kalian beli, tidak ada konten tambahan atau DLC. Video game dahulu adalah sebuah konten yang utuh, berbeda dengan game-game zaman sekarang yang terasa tidak utuh dengan adanya konten-konten yang bisa ditambahkan melalui microtransaction.

Tapi itu semua tergantung selera sih. Sangat banyak kok yang menyukai mocritransaction, entah untuk membeli peta baru, senjata baru, armor baru, upgrade, dan lain-lain sebagainya. Bagaimanapun industri video game merupakan sesuatu yang dinamis dan terus berkembang. Microtransaction mungkin sudah menjadi sebuah keharusan bagi game-game zaman sekarang. Namun patut diingat, kontrol dan pengawasan harus tetap dilakukan, sekecil apapun transaksi yang dilakukan. Jangan sampai dua kasus di atas terulang kembali. Uang sebanyak itu lumayan lho buat buka usaha. Hehehe. (gj)

No comments:

Post a Comment