Saturday, August 20, 2016

‘Parasite Eve’, Action RPG Horor Sinematik Berbumbu Biologi

(sumber gambar: primaleyes.com)
Halo sahabat gamer, salam gamer dari saya, Gamer Jalanan. Sahabat gamer, apa jadinya bila tubuh kita memberontak dan mengambil alih kesadaran kita, lantas berencana menguasai dunia? Pasti sangat mengerikan bukan? Itulah kira-kira premis yang diusung game hibrida bergenre survival horror action-RPG berjudul Parasite Eve. Kalian para gamer yang eksis di era PlayStation One (PS1) pasti tidak asing dengan judul ini. Tidak heran ya mengingat game ini memiliki gameplay yang unik dan jalinan cerita yang begitu kompleks.

Dirilis tahun 1998 oleh developer kenamaan yang dikenal banyak menelurkan game-game RPG populer yaitu Square Soft (sekarang Square Enix), Parasite Eve mengejutkan banyak gamer PS1 berkat elemen sinematiknya yang begitu kuat. Survival Horror adalah genre yang mulai meroket di masa itu, dan Parasite Eve hadir memberikan nuansa baru dengan gameplay yang unik, perpaduan action dan RPG yang herannya bisa berjalan dengan begitu baik.

Saya ingat, game ini dulu sempat membuat saya penasaran berkat judulnya yang mengandung kata ‘parasit’. Kala itu saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar dan baru mempelajari kata tersebut lewat mata pelajaran biologi yang menerangkan bentuk simbiosis yang merugikan. Rasa penasaran saya semakin bertambah kala membaca walkthrough di sebuah majalah video game lokal. Dalam walkthrough tersebut, saya ingat membaca kata-kata ‘mayat’, dengan gambar screenshot-nya yang bernuansa gelap. Saya pikir game ini adalah game yang menyeramkan dan itu terbukti saat saya akhirnya memainkan game ini.

Adegan pembuka yang sangat mengejutkan saya.
Diadaptasi dari novel best-seller di Jepang berjudul sama, Parasite Eve memiliki kisah yang tidak biasa yang diambil dari mitos biologi. Kisah yang unik inilah yang menjadi alasan saya memainkan game ini. Pasalnya, yang menjadi ancaman dalam game ini datang dari dalam tubuh manusia itu sendiri. Meski memiliki judul yang sama, nyatanya cerita dalam game ini merupakan kelanjutan dari novel yang menjadi sumber adaptasinya tersebut. Pun begitu, game ini memiliki gameplay yang menarik yang merupakan perpaduan beberapa genre sekaligus yaitu RPG, action, dan survival horror.

Cerita dalam Parasite Eve dimulai dari sebuah pertunjukkan opera di New York, di malam natal. Seorang polisi wanita N.Y.P.D. bernama Aya Brea datang menyaksikan opera itu bersama kekasihnya. Opera awalnya berlangsung baik-baik saja, hingga tiba-tiba aktris utama dalam opera tersebut mulai bernyanyi. Entah kekuatan apa yang ada di dalam nyanyian tersebut, karena para penonton mulai terbakar satu persatu saat mendengar suara nyanyian tersebut. Anehnya, hanya Aya yang sama sekali tidak terkena efek terbakar dari nyanyian tersebut. Aya pun mengejar perempuan bernama Melissa tersebut yang kemudian berubah menjadi makhluk aneh yang menyebut dirinya ‘Eve’.

Eve, perwujudan mitokondria yang mengancam umat manusia.
Rupanya, Eve adalah perwujudan dari Mitokondria, sebuah organel sel manusia yang memiliki DNA sendiri, berbeda dengan DNA manusia yang menjadi host-nya. Dalam game ini, Mitokondria dimitoskan dulunya adalah organisme hidup yang terpisah, yang lantas menjadi parasit dalam tubuh manusia. Setelah melewati jutaan tahun, Mitokondria mulai memberontak dan mengambil alih tubuh manusia, berencana melenyapkan umat manusia dari muka bumi ini. Dengan memanfaatkan mitokondria yang ada di sel manusia, Eve telah siap membakar satu persatu manusia di muka bumi.

Menyebut diri mereka sebagai spesies yang lebih unggul dibanding manusia, Mitokondria melalui perwujudan Eve berencana menghasilkan makhluk sempurna yang disebut ‘Ultimate Being’. Dan di sinilah tugas saya, sebagai Aya Brea, untuk menghentikan aksi Eve dan pemberontakan Mitokondria atas umat manusia tersebut. Kira-kira seperti itulah sinopsis singkat dari game ini, yang sebenarnya sulit untuk diringkas mengingat betapa kompleksnya jalinan cerita dalam game ini.

Jalinan cerita yang menarik dan penuh misteri.
Menurut saya narasi dalam game ini tersaji dengan kuat dan begitu inovatif, menjadi daya tarik bagi saya dan para gamer lainnya untuk kembali memainkan game ini hingga mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Saat pertama kali memainkan game ini, yang tersaji adalah sebuah misteri yang menunggu untuk diketahui. Semakin dalam permainan, semakin tersingkap setiap lapisan misteri yang membungkus kisah utuhnya. Dan hebatnya, kronologis cerita ini dituturkan begitu baik dengan semua petunjuk yang ada pada akhirnya menemukan jawabannya. Tidak ada yang terlewatkan.

Memainkan Parasite Eve artinya menyelami setiap misteri Mitokondria dan apa yang sebenarnya terjadi pada Aya Brea. Di luar itu saya diajak menyelami konflik-konflik yang terjadi di sekitarnya, seperti antara Daniel dengan putranya, atau perasaan yang disembunyikan oleh Maeda. Semua itu terasa mengalir dengan sangat baik, memberikan efek-efek dramatis dan horor yang begitu mengena, dan kesan serius yang menjadikan game ini tidak tepat bila dimainkan anak-anak. Dengan tema yang sarat unsur kekerasan dan ide-ide berat, tidak heran bila game ini mendapat rating M alias dewasa.

Penuh cutscene yang memberikan nuansa sinema.
Bukan tanpa alasan bila Square selaku developer game ini menyebut Parasite Eve sebagai sebuah RPG sinematik. Karena mengingat saat memainkan game ini, saya merasa seperti sedang menyaksikan sebuah film layar lebar yang begitu menegangkan. Jalinan ceritanya dihadirkan melalui berbagai event dan cutscene yang terbentang sejak awal hingga akhir permainan. Setiap cutscene dalam game ini dihadirkan dalam tampilan tiga dimensi yang begitu indah di eranya. 

Bukan cuma cutscene, Square juga tampaknya memberikan kerja lebih pada keseluruhan grafis dalam game ini. Penggambaran setiap karakter dan lingkungan dalam game ini tampak begitu detail. Memang masih terlihat kasar mengingat keterbatasan teknologi PS1, tapi sudah merupakan pencapaian tersendiri melihat betapa halus dan jelasnya objek yang ingin digambarkan. Dengan melihat karakter Aya Brea misalnya, meski dia berpakaian seperti laki-laki, saya bisa mengetahui jelas bahwa karakter ini adalah seorang perempuan berkat lekukan payudara yang membuatnya terlihat seksi.

Menerka-nerka apa yang menunggu dalam keheningan.
Penggambaran lingkungan dalam game ini sebenarnya tidak berbeda dengan penggambaran lingkungan game-game RPG Square sebelumnya seperti Final Fantasy VII, yang merupakan object dua dimensi dengan efek menyerupai tiga dimensi. Namun begitu, saya melihat Square memberikan kerja lebih dengan membubuhkan detail-detail pada objek-objek dalam lingkungan tersebut yang membuatnya menyerupai lingkungan sebenarnya. Lihat saja betapa artistiknya penggambaran museum dan juga rumah sakit yang menjadi lokasi-lokasi dalam game ini.

Lebih-lebih, efek menyeramkan itu begitu kentara saat saya memperhatikan lebih jelas pada objek-objek yang ada. Objek seperti mayat yang hangus terbakar cukup membuat saya bergidik ngeri sementara pepohonan dan gelapnya danau di taman kota cukup membuat saya ragu-ragu melangkah, tidak siap dengan apa yang menanti di depan sana. Efek-efek ini pun terlihat mengesankan dalam setiap pergerakan animasinya, seperti tubuh yang terbakar api, hingga adegan pertarungan dengan berbagai kilatan-kilatan cahaya berpendar di sana.

Berjalan sendiri dalam koridor sepi seperti ini cukup membuat bergidik.
Untuk game bertema survival horror, bila sudah dihiasi grafis yang ‘spooky’, keheningan saja sudah terbilang cukup melengkapi kesan kesendirian yang dirasakan pemain, apalagi bila ditambah alunan musik yang mengintimidasi. Parasite Eve memanfaatkan dua hal tersebut dengan begitu baik, yaitu keheningan dan musik yang menyeramkan. Di awal-awal permainan saya dibuat terkesima dengan betapa atmosfernya begitu mengancam saya.

Bermula dari keterkejutan saya dengan kebakaran yang tiba-tiba melanda gedung opera, hingga belakang panggung yang begitu sunyi dan penuh dengan mayat hangus terbakar, saya hanyut dalam kengerian yang sama sekali tidak saya duga. Perlu diketahui awalnya saya memainkan game ini karena penasaran seperti apa sih game Parasite Eve di mana sebelumnya saya sama sekali tidak memiliki informasi apapun tentang game ini, baik dalam hal ceritanya maupun gameplay-nya. Yang saya tahu hanya genre game ini yaitu survival-horror.

Para monster bisa muncul di mana saja Eve singgah, termasuk di kantor polisi.
Sayangnya, kengerian yang sukses dibangun keheningan di awal-awal permainan, lengkap dengan alunan nada melengking perempuan khas opera, seakan menguap perlahan seiring progres permainan. Karena sebagian besar wilayah aksi dari game ini diiringi musik latar yang cenderung menghentak. Memang musik ini, beberapa di antaranya terdengar melankolis sementara yang lainnya berupa gubahan musik opera, begitu pas berpadu dengan elemen action yang ditonjolkannya. Namun begitu secara halus menghilangkan nuansa horor yang sempat membuat bulu roma saya berdiri kala memainkannya pertama kali.

Memang sih tetap ada momen-momen keheningan di tempat-tempat tertentu, namun saat berpindah ke elemen aksi, atmosfernya berubah dalam sekejap saja. Meski begitu, buat saya komponen suara dan musik dalam game ini telah diramu dengan begitu tepat. Sebagai action-RPG, jelas akan susah untuk mempertahankan nuansa horor sebagaimana game-game survival horror pendahulu seperti Resident Evil atau Silent Hill. Karenanya buat saya Square sudah bermain dengan aman melalui komposisi suara dan musik yang dimasukkannya ke dalam permainan ini yang menurut saya berhasil memunculkan keunikan dari Parasite Eve.

Begitu gelap dan kelam.
Dari segi gameplay, buat saya merupakan hal yang kompleks untuk didefiniskan. Seperti yang sudah saya jelaskan di pembuka artikel ini, Parasite Eve merupakan hibrida dari berbagai genre, yaitu action dan RPG dengan polesan survival horror. Sebagai game buatan developer Jepang, elemen JRPG begitu kental di dalam game ini, yang tampak dalam ‘turn-based attack’ dan ‘active-battle system’ yang diterapkan. Lantas elemen action disuntikkan melalui pergerakan karakter, di mana alih-alih statis sebagaimana Final Fantasy, polwan jagoan saya ini bisa bergerak dinamis untuk menghindari maupun menyerang musuh.

Lalu, unsur survival-horror dipoleskan melalui keheningan dan kesendirian yang dialami Aya Brea, yang begitu sukses merasuk ke dalam pengalaman gamer, ya setidaknya pengalaman saya. Tidak ketinggalan keterbatasan amunisi dan juga titik save yang dalam game ini dihadirkan dalam wujud telepon. Penggunaan amunisi yang bijak merupakan hal wajib dalam game ini, dengan pemilihan senjata yang tepat merupakan strategi yang mesti digunakan untuk memenangkan pertarungan seefisien dan efektif mungkin.

Aya mesti mengalahkan anjing berkepala tiga ini dengan senapan.
Pistol dan berbagai jenis senjata api lainnya menjadi senjata utama yang bisa digunakan Aya, di luar senjata tongkat yang meski tidak terbatas penggunaannya namun tidak terlalu efektif. Senjata-senjata ini bisa ditingkatkan performanya dengan menggunakan item ‘tools’ maupun memberikannya pada divisi senjata NYPD. Namun mekanik ‘tune-up’ ini menurut saya, Gamer Jalanan, terlalu rumit dan membingungkannya. Karenanya yang saya lakukan hanya melihat statistik terbaik dari setiap senjata yang saya dapatkan ketimbang melakukan upgrade yang ribet.

Dengan mitokondria yang tidak normal, Aya juga memiliki sederet kemampuan menyerupai spell dan magic dalam Final Fantasy yang disebut ‘Parasite Energy’ atau disingkat PE. Di antaranya kemampuan menyembuhkan diri maupun bidikan dan serangan yang cukup ampuh melukai lawan. Sebagaimana RPG ala Square, penggunaan PE juga menguras poin MP. Bedanya tidak perlu Ether, MP akan terisi penuh seiring berjalannya pertarungan.

Di sepanjang permainan, Maeda akan memberikan berbagai jenis jimat.
Sederetan item turut berperan dalam keberhasilan mengalahkan lawan. Item-item tersebut meliputi item penyembuhan diri khas RPG seperti medicine dan cure, armor untuk meningkatkan pertahanan, maupun key item dan jimat-jimat ‘vodoo’ pemberian Maeda yang entah apa fungsi sebenarnya saya tidak peduli. Sebagaimana ‘Final Fantasy VII’, penggunaan item memakan satu giliran menyerang dan ada batas jumlah item yang bisa dibawa. Batas ini bisa disiasati dengan memindahkan item-item tertentu ke dalam kotak-kotak yang ada.

Sebagai game bergenre action, Square tahu benar bagaimana memperlakukan permainan agar terasa cepat dan tidak bertele-tele. Ini tergambar dari bagaimana transisi antara eksplorasi area dengan sekuen pertarungan yang berada di lokasi yang sama, tanpa harus berganti ke layar pertarungan yang berbeda. Random encounter terjadi pada beberapa lokasi yang keberadaannya nyaris tidak bisa dihindari dengan opsi melarikan diri dari pertarungan. Sprite dari setiap makhluk ini muncul perlahan dan siap mengancam Aya.

Dua monster buaya ini jelas lebih besar dari Aya.
Random encounter ini meliputi berbagai jenis makhluk mutan dan monster mengerikan yang kebanyakan merupakan mutasi dari makhluk-makhluk yang sudah ada sebelumnya. Mulai dari tikus, ular, kelelawar, kalajengking, hingga buaya bahkan dinosaurus, semuanya hadir dalam wujud yang menyeramkan. Masing-masing memiliki pola serangan khas yang perlu dipelajari agar bisa menghindarinya dengan benar tanpa kehilangan health point sedikit pun. Dan sebagai penutup setiap level yang disebut dengan ‘Day’, akan ada boss yang telah menunggu, yang masing-masing memiliki kekuatan besar dan sulit ditaklukkan.

Dengan sudut kamera yang dinamis, berganti-ganti di setiap lokasi yang diakses, kontrol game ini terbilang mudah untuk dilakukan. Pergerakan karakter menyesuaikan dengan tombol arah yang saya tekan, sehingga tidak membingungkan seperti yang diterapkan Resident Evil. Tombol aksinya untuk menembak juga sederhana sekali. Kalaupun ada kelemahan yaitu pada kontrol akses pintu, di mana saya beberapa kali kesulitan saat akan membuka pintu. Di sini ada dualisme kontrol dalam membuka pintu, di satu tempat dibutuhkan menekan tombol untuk membuka pintu, namun di tempat lain akses pintu berjalan sendiri saat Aya mendekati pintu tersebut.

Sudut kamera yang dinamis semakin menambah suasana mencekam dalam game ini.
Untuk tantangannya, meski banyak yang menyebut game ini terbilang mudah, namun tetap saja Parasite Eve membutuhkan ketelatenan dalam bermain. Dibutuhkan pergerakan yang luwes dan juga mengingat pola untuk bisa sukses dalam pertarungan. Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, dibutuhkan juga strategi dalam pemilihan senjata dan armor serta pemilihan serangan untuk bisa menghasilkan kemenangan yang efisien. Random encounter yang terjadi berulang dengan serangan-serangan lawan yang memiliki efek samping seperti racun jelas bukan hal sepele untuk dihadapi.

Sekali lagi game ini adalah survival-horror yang artinya setiap amunisi dan titik penyimpanan begitu terbatas. Bagi gamer kawakan khususnya gamer RPG, game ini mungkin bakal terasa mudah, namun bagi gamer pemula bakal tetap terasa sulit. Tingkat kesulitan inilah yang mungkin menjadi replay value bagi para pemainnya, di luar dari fitur ‘New Game+’ yang membuka ending asli game ini. Tapi bagi saya, Gamer Jalanan, tetap saja game-game bergenre RPG, sekalipun mengandung elemen action, tidak memiliki daya tarik memainkannya kembali setelah saya berhasil menyelesaikannya dan mengetahui bagaimana jalan ceritanya.

Kemunculan Eve membuat saya terus bertanya-tanya di sepanjang permainan.
Kesimpulannya, Parasite Eve memiliki keunggulan dalam hal cerita, grafis, gameplay, dan juga atmosfer. Saya sampai saat ini masih dibuat terkesima dengan ceritanya yang begitu orisinal yang hebatnya diterjemahkan dengan sangat baik dalam wujud video game. Grafisnya juga memukau, baik dalam bentuk cutscene maupun penggambaran karakter serta lingkungan permainannya. Atmosfer horornya juga terasa sekali dengan balutan suara-suara opera yang membuat saya bergidik, dan komposisi musiknya khas benar-benar menciptakan sebuah kesan tersendiri dalam ingatan saya.

Game ini memiliki banyak hal untuk disukai, setidaknya menurut saya, Gamer Jalanan. Penggambaran setiap karakternya begitu baik, mulai dari Aya, Daniel, Klamp, Maeda, hingga Eve. Dan di antara karakter-karakternya tersebut, saya rasa sangat sulit untuk tidak menyukai karakter Aya yang... entahlah, terlihat begitu menyenangkan. Sosok perempuan yang terlihat kuat dan tangguh di luar, namun memiliki kesedihan dan kelemahan yang membuatnya bisa begitu tak berdaya. Karakternya ini sekilas mengingatkan saya pada karakter Celes Chere dari game Final Fantasy VI yang juga digarap oleh Square Soft.

Aya Brea yang begitu imut.

Secara keseluruhan Parasite Eve adalah sebuah pengalaman baru bagi penggemar tiga genre sekaligus, action, RPG, dan survival horror. Semua elemen dalam game ini sebagaimana yang telah panjang saya jabarkan di atas menghasilkan sebuah kesatuan kisah dan lingkungan permainan yang menarik dan membuat siapa saja yang memainkannya tidak akan berhenti sebelum mencapai hari terakhir dalam game ini. Kesuksesan game ini memunculkan dua sekuelnya yaitu 'Parasite Eve II' di PS1 dan 'Parasite Eve: 3rd Birthday' di PSP. Sayangnya Square tampak melupakan franchise ini dengan ketiadaan game terbarunya pada dua generasi video game terkini.

Padahal tentu akan menarik melihat game ini dalam tampilan HD dan kualitas teknologi yang dimiliki konsol-konsol next-gen, khususnya PS4. Ya kalaupun tidak dalam wujud game, serial ini berpotensi pula diadaptasi ke dalam bentuk film, entah live-action atau CG movie. Memang sih sudah pernah ada film live-action berjudul Parasite Eve yang rilis di Jepang, tapi film itu diangkat dari cerita novelnya, bukan dari gamenya. Dengan tren adaptasi video game yang sedang berlangsung, tentu akan menarik melihat Aya Brea muncul di layar lebar. Bagaimana menurut sahabat gamer? Apa kalian setuju dengan pendapat saya, Gamer Jalanan? (gj)

*NB: Gambar-gambar screenshot merupakan dokumentasi pribadi.

6 comments:

  1. Kyknya bakal jd referensi lg nih.. Hehe saya butuh yg seger2 udh lama gk ngerasain sensasi main game yg 'beda' dari tipikal saya,thx buat postingannya kak..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama-sama. Terima kasih sudah mampir. :)

      Delete
    2. Dgn ps 3 aq pengin main game parasit eve 2 lg.. Apakah bs?

      Delete
    3. Wah kalau itu saya kurang tahu ada gak ya gamenya di PS3.

      Delete
  2. Mana walkthroughnya
    Lagi butuh banget nih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah saya belum bisa bikin walkthroughnya. Hehehe.

      Delete