Friday, May 27, 2016

Video Game, Rating, dan Bimbingan Orangtua

(sumber gambar: usa.chinadaily.com)
Halo sahabat gamer, apa kabar? Saya Gamer Jalanan, kali ini saya akan mengutarakan pendapat saya mengenai heboh daftar hitam 15 judul video game yang dianggap berbahaya oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Indonesia beberapa waktu lalu, sebagaimana yang dimuat dalam berita di blog video game CumaGamer.com. Dalam berita tersebut, Kominfo disebut merilis daftar 15 game yang dianggap berbahaya bagi anak-anak, menilik pada tema yang diangkat game-game tersebut.

Informasi daftar hitam yang meliputi game-game populer seperti Point Blank, Grand Theft Auto (GTA), dan Mortal Kombat itu lantas disambut respon baik oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yang menyebarkan daftar tersebut lebih luas lagi melalui berbagai media. Selain memperingatkan masyarakat, KPAI juga menyerukan agar game-game yang ada dalam daftar tersebut diblokir oleh pemerintah. Informasi dan seruan tersebut lantas menyebar secara viral, dengan sebagian pihak khususnya akademisi pemerhati pendidikan anak-anak mengamininya.


Poster berisi daftar 15 game yang dianggap berbahaya bagi anak. (sumber gambar: duniaku.net)
Sebaliknya, informasi tersebut mendapat respon yang tidak menyenangkan dari sebagian besar gamer Indonesia. Setidaknya itulah yang saya lihat di internet. Banyak gamer yang tidak terima atas pemblokiran tersebut, khususnya gamer dewasa yang telah cukup umur memainkan game-game tersebut. Mereka menyatakan tidak seharusnya game-game itu diblokir, karena semestinya terkait pembatasan video game merupakan tanggung jawab orang tua dalam mengawasi anak-anaknya. 

Ada pula yang beralasan bahwa aksi kekerasan yang dilakukan anak-anak tidak selalu dikarenakan video game. Singkatnya, meski mengandung unsur kekerasan, namun terjadinya suatu aksi kekerasan lebih dikarenakan pribadi gamer, bukan dikarenakan video game. Sebagaimana orang Indonesia pada umumnya, banyak pula gamer yang membalik pernyataan KPAI agar lebih memikirkan hiburan-hiburan lain yang katanya sudah terbukti merusak perkembangan anak, dalam hal ini sinetron.

Tampilan situs KPAI saat diretas hacker. (sumber gambar: republikasi.com)
Puncak kekesalan gamer ini sayangnya, diwujudkan dengan aksi meretas situs resmi KPAI. Hacker yang mengatasnamakan gamer melakukan deface pada tampilan situs KPAI, menggantinya dengan gambar tengkorak dan beberapa pesan. Meski beberapa memuji aksi ini, banyak pula yang menyayangkan peretasan ini karena dinilai sebagai sebuah kejahatan. Beruntung aksi ini hanya berlangsung sebentar mungkin dikarenakan si peretas sudah memahami konsekuensinya. Tapi ada pula gamer yang melayangkan protes dengan cara yang baik, yaitu dengan membuat petisi online di Change.org. Petisi ini sendiri mendapat tanggapan baik dari para gamer.

Lantas, bagaimana semestinya kita, yang mengaku sebagai gamer, menanggapi pemblokiran video game ini? Ini pendapat saya, Gamer Jalanan. Menurut saya, Indonesia membutuhkan sistem rating dan bimbingan orangtua dalam menyaring muatan-muatan kekerasan dan pornografi dalam video game yang berbahaya bagi perkembangan anak. Dengan adanya sistem rating, publik dapat mengetahui game-game apa saja yang aman dimainkan anak-anak. Karena sistem rating memberikan informasi game-game mana yang boleh dimainkan semua umur, mana saja yang boleh dimainkan remaja, dan mana saja yang hanya boleh dimainkan orang dewasa.

Rating game menurut ESRB. (sumber gambar: metrotvnews.com)
Sistem rating ini tidak akan berfungsi bila tidak disertai peran atau bimbingan orangtua yang tepat. Dalam hal ini, orangtua mesti mengawasi game-game apa saja yang dimainkan anak-anak mereka. Baik itu game-game di konsol rumahan atau game-game online. Orangtua harus tahu rating dari game-game yang dimainkan anak-anak mereka sehingga, bila menemukan rating game tersebut tidak sesuai dengan umur si anak, orangtua berhak dan harus melarang anak memainkannya.

Sistem rating game ini sebenarnya tidak berbeda jauh dengan sistem rating yang diterapkan dalam film bioskop dan film di layar kaca. Misalnya film ‘The Raid 2: Berandal’ mendapat rating dewasa/17 tahun ke atas, maka anak-anak jelas tidak boleh memainkannya. Hal yang sama berlaku pada game ‘Grand Theft Auto V’, yang secara jelas game ini mendapat rating M alias mature/dewasa oleh ESRB. Artinya, anak-anak di bawah usia 17 tahun dilarang keras memainkan game GTA V ini. 

Banyak anak di bawah umur memainkan GTA V. (sumber gambar: cumagamer.com)
Tapi nyatanya, meski sudah dilabeli rating yang menjelaskan kelompok usia yang pantas memainkannya, masih banyak saja anak-anak yang menyaksikan film dewasa dan memainkan game-game dewasa. Di sinilah peran orangtua sangat diperlukan. Orangtua tidak boleh acuh terhadap media hiburan yang dikonsumsi anak-anak mereka. Ya kita tahu bahwa video game adalah sebuah hiburan yang lekat dengan anak-anak, tapi bukan berarti anak-anak bisa memainkan game apa saja semau mereka. Orangtua mesti mengawasi anak-anak mereka bermain game.

Kerja sama antara pemerintah dan orangtua adalah kunci dalam penyelesaian polemik pelarangan video game. Pemerintah membuat regulasi dalam bentuk sistem rating, yang diikuti dengan imbal balik dari orangtua dengan mengawasi game-game yang dimainkan anak-anak mereka sesuai rating yang telah dibuat. Bila sistem ini berjalan, bukan tidak mungkin anak-anak akan berada dalam lingkungan yang aman dalam bermain video game. 

Si Juki menyindir KPAI nih ceritanya. (sumber gambar: @jukihoki)
Sayangnya, mewujudkan sistem ini sepertinya bukan hal yang mudah di Indonesia. Baik pemerintah maupun masyarakat masih belum memahami benar urgensi penerapan rating ini. Memang pemerintah melalui Kementerian Kominfo sudah mewacanakan penerapan rating video game dengan standar Indonesia. Sehingga Indonesia bisa memiliki sistem rating yang mandiri yang sesuai dengan budaya dan kepribadian bangsa, bukannya mengekor pada sistem rating luar negeri. 

Masalahnya adalah, KPAI menilai penerapan rating ini tidak akan efektif. Karenanya dari berita yang saya baca, komisi ini memilih walk-out dalam rapat pembahasan sistem rating. Pembuatan sistem rating pun mandek. KPAI lebih memilih pemblokiran video game sebagai langkah yang tepat mengantisipasi sisi buruk video game pada anak. Padahal, menurut saya cara ini sama sekali tidak efektif. Yang menjadi sorotan KPAI adalah game-game tertentu, sementara ada ribuan game di luar sana yang bisa diakses anak-anak lewat berbagai media baik itu konsol rumahan, smartphone, atau PC. 

Game seimut Super Mario Bros. pun masih ada unsur kekerasannya. (sumber gambar: emuparadise)
Bila KPAI dan pemerintah mengambil langkah brutal dengan memblokir semua game yang ada, ini jelas akan mematikan industri video game lokal yang saat ini justru tengah berkembang pesat. Sementara video game dan kekerasan adalah dua unsur yang sudah saling berkait sejak dahulu kala. Terdapat dua jenis kekerasan dalam video game yaitu kekerasan tingkat rendah bergaya kartun seperti dalam Super Mario yang aman untuk anak-anak dan kekerasan tingkat tinggi seperti dalam Mortal Kombat yang berbahaya bagi anak. Karenanya, solusi yang tepat tetaplah penerapan rating.

Semestinya KPAI bisa belajar dari penerapan rating dan sensor pada film-film bioskop yang dilakukan Lembaga Sensor Film (LSF). Bila penerapan rating pada film dinilai efektif, artinya hal yang sama juga akan berlaku pada video game. Tentu harus ada proses edukasi dan sosialisasi dari pemerintah kepada masyarakat tentang penerapan rating video game. Sehingga, masyarakat pun tahu bagaimana mengendalikan permainan anak-anaknya. Bagaimanapun teknologi adalah sebuah proses dalam kehidupan yang tidak bisa dibendung dan mesti diterima, termasuk dalam hal ini video game. Tinggal bagaimana pemerintah dan masyarakat menyikapinya.

KPAI sepertinya perlu belajar dari sistem rating film bioskop. (sumber gambar: twimg.com)
Tapi tetap, sekali lagi para gamer adalah yang terkena dampak langsungnya. Saya, Gamer Jalanan, dan kalian, yang sama-sama mengaku sebagai gamer, juga mesti sadar diri dan mengerti game yang dimainkan. Perlu disadari bahwa apa yang kalian mainkan adalah sebatas hiburan, bukan untuk diterapkan di dunia nyata. Kalian pun mesti bisa menyaring hal-hal buruk yang ada di video game. Serta, jangan sampai kekerasan yang ada dalam video game itu berpengaruh pada pola pikir kalian. Kalian juga mesti mengerti batas, bila sekiranya pikiran kalian tidak sanggup menerima materi dalam video game yang kalian mainkan, maka berhentilah bermain dan cari game yang lainnya.

Pun begitu, para gamer juga mesti menyadari sistem rating yang ada pada video game. Bila kalian gamer yang masih anak-anak, maka hindari memainkan game-game dengan label M atau 18+. Karena memang rating tersebut dibuat bukan untuk kapasitas kalian, yang belum mengenal secara jelas mana yang baik dan mana yang buruk. Memainkan game-game ini akan membahayakan kalian baik secara jasmani maupun rohani. Saya tidak asal ngomong ya, karena saya menyakskan sendiri anak-anak bau kencur yang begitu fasih mengeluarkan ‘kebun binatang’ dari mulut mereka gara-gara memainkan game Point Blank. Saya juga menyaksikan sendiri anak-anak yang rela tidur di warnet guna memainkan game tersebut.

Sekeren apapun Mortal Kombat, tetap bukan untuk anak-anak. (sumber foto: amazonaws.com)
Sekali lagi, dibutuhkan peran semua pihak dalam polemik video game ini. Meski pemerintah dan orangtua menjadi pihak utama yang memiliki peran besar, namun ini juga menjadi tanggung jawab pihak-pihak lainnya, dalam hal ini perusahaan video game yang membuat serta mengedarkan video game dan kalangan gamer yang memainkannya. Marilah menjadi selalu positif dalam menyikapi video game yang sebenarnya hanyalah salah sau bentuk hiburan semata. Jadilah gamer positif dan bertanggung jawab. Itulah opini saya, kalian boleh setuju boleh juga tidak. Saya Gamer Jalanan, salam gamer! (gj)

No comments:

Post a Comment