Thursday, July 28, 2016

Satu Jam Bermain ‘Call of Duty: Ghosts’

(sumber gambar: megaman-central.com)
Satu jam tidaklah cukup untuk bermain video game. Apalagi video game zaman sekarang memiliki rentang waktu permainan hingga berjam-jam dengan tingkat kesulitan yang memaksa kalian memainkannya berulang-ulang. Tapi satu jam terbilang cukup untuk memberikan kesan kepada gamer mengenai tampilan game tersebut, dari segi visual, audio, dan gameplay. Dan bagi saya, Gamer Jalanan, satu jam sudah cukup untuk mengetahui bagaimana keseluruhan permainan bakal berjalan, dan cukup waktu untuk menentukan melanjutkan permainan atau menghentikannya.

Pada kesempatan ini saya, Gamer Jalanan, mengajak kalian memainkan game first-person shooter (FPS) populer, Call of Duty (COD) di konsol PlayStation 3 (PS3). Adapun seri yang saya mainkan kali ini adalah ‘Call of Duty: Ghosts’, seri ke-10 dalam kronologi Call of Duty, dan merupakan game Call of Duty keenam yang dikembangkan oleh Infinity Ward, dengan Activision tentu saja menjadi penerbitnya. Ini adalah kali pertama saya memainkan kembali game COD setelah satu dekade lebih tidak memainkan serial game FPS paling populer ini. Sebelumnya, kira-kira di tahun 2006 atau 2007, saya lupa tahun persisnya, saya sempat memainkan game ‘Call of Duty 4: Modern Warfare’, yang menurut saya dan kebanyakan gamer FPS lainnya merupakan seri terbaik dari game COD.

Walaupun saya bukan maniak game FPS seperti kebanyakan gamer Indonesia yang doyan main Counter-Strike Global Offensive (CSGO) dan Point Blank (PB), tapi saya paham benar kualitas dari game COD. Saya cukup terkesima saat pertama kali melihat permainan COD di PlayStation 2 (PS2), saat itu ‘Call of Duty 3’ yang berlatar perang dunia kedua. Saya baru benar-benar kagum dengan serial ini tatkala memainkan COD 4: Modern Warfare versi PC di rumah teman saya, dan terhanyut dengan gaya permainannya yang begitu memikat dan realistis. Saya masih ingat misi pertama waktu itu ada di tengah laut, di atas kapal, di dalam badai, dan itu keren sekali.

Layar judul yang terlihat keren.
Tapi lupakan Modern Warfare, karena yang saya bahas kali ini adalah COD: Ghosts di PS3. Tidak banyak yang saya tahu tentang game ini karena game ini sendiri rasanya jarang dibicarakan, atau mungkin saya saja yang tidak mengikuti perkembangan dunia game, saya tidak tahu. Jadi mari langsung memainkan ‘Call of Duty: Ghosts’. Di layar judul, ada empat pilihan mode yang ditawarkan, dengan gambar pria bertopeng di sana, yang saya tebak adalah Ghost. Empat mode tersebut adalah single-player, multiplayer, squads, dan extinction. Saya tidak tahu mode apa squads dan extinction itu, tapi yang saya mainkan dalam satu jam permainan ini adalah mode single-player campaign, yang menurut saya sudah bisa menyiratkan bagaimana permainan multiplayer-nya.

Saya memilih new game dan ada empat pilihan tingkat kesulitan yang ditawarkan. Mengingat saya ahli dalam bermain game FPS sementara sayu butuh impresi satu jam permainan, maka kali ini saya memiliki tingkat kesulitan paling rendah yaitu RECRUIT. Permainan lantas dimulai dengan sebuah narasi tentang asal mula Ghosts, sebuah unit khusus militer yang yang menjadi sentral game ini. Saya tidak akan menceritakan kembali legenda asal-usul Ghosts ini, singkatnya Ghosts terlahir dari upaya 15 prajurit yang bertahan hidup dengan strategi stealth dan memenangkan pertempuran melawan pasukan musuh yang jumlahnya jauh lebih banyak.

Legenda Ghosts sebagaimana diceritakan Elias.
Rupa-rupanya legenda tersebut diceritakan kembali oleh Elias, kepada dua anaknya yaitu Hesh dan Logan di sebuah bukti. Pada permulaan game ini saya berperan sebagai Logan, si bungsu yang menjadi silent protagonist. Setelah menceritakan legenda Ghosts, Elias mengajak kedua putranya kembali ke rumah. Yang bisa saya lakukan sejauh ini adalah berjalan mengikuti Elias dan Hesh. Di sepanjang perjalanan menyusuri bukit ini terjadi gempa beruntun, yang oleh Elias dikira sebagai gempa biasa. Namun semakin lama gempa semakin keras dan Elias menyadari itu bukan gempa melainkan sebuah serangan militer!

Kami sudah tiba di jalan beraspal, di wilayah pemukiman, ketika terjadi begitu banyak ledakan di mana-mana. Ledakan-ledakan besar muncul begitu saja menciptakan kebakaran dengan api dan asap membumbung di berbagai tempat dan membuat warga berlarian panik ke berbagai arah. “It’s ODIN!” seru Elias menyadari apa yang terjadi bukanlah gempa. Elias segera memerintahkan kedua putranya untuk kembali ke rumah, sementara dia pergi mengambil truk. Hesh awalnya menolak, tapi Elias memaksa. Karena saya tidak tahu jalan ke rumah, maka yang saya lakukan hanyalah mengikuti ke mana Hesh berlari.

Baru beberapa detik bermain saya sudah disambut ledakan sekeras ini.
Suasanya begitu mencekam, dengan berbagai ledakan keras, api, dan kehancuran di sekitar saya. Akhirnya saya tiba di sebuah rumah besar dengan kolam renang, saya masuk ke dalamnya mengikutinya Hesh. Tapi di dalam rumah situasi tidak membaik bahkan semakin memburuk. Ledakan terjadi dan menghancurkan sebagian rumah, membuat Logan dan Hesh terjebak di dalamnya. Kemudian Hesh menuntun saya ke sebuah pintu besar yang sulit dibuka, meminta tolong Logan untuk membantu mendorongnya. Secara bersama-sama kami berhasil membuka pintu, memunculkan sinar putih yang membawa ke kilas balik 15 menit sebelumnya.

Dalam kilas balik ini saya berada di luar angkasa, di depan saya ada seorang berpakaian astronot, dengan percakapan yang ada membicarakan mengenai uji coba ODIN. Rupanya kini saya berperan sebagai seorang astronot bernama Baker, dan mesti mengikuti astronot perempuan bernama Kyra Mosley. Di sini saya sempat bingung dengan kontrolnya, membuat saya terbawa menjauh dari stasiun luar angkasa dan game over. Secara otomatis permainan berulang dan saya mengetahui kalau saya mesti mengikuti pergerakan Mosley masuk ke dalam stasiun luar angkasa ODIN untuk menyambut kedatangan personel baru yang datang.

Berkesempatan masuk stasiun luar angkasa.
Saya masuk ke dalam ODIN bersama Mosley, menyusurinya , bertemu tiga awak di sana. Salah seorang awal meminta bantuan saya, namun sebelum saya sempat membantunya, muncul dua astronot dari lubang di belakangnya yang secara mengagetkan menembaki tiga awak tadi. Saya kaget dan refleks Mosley menutup pintu kabin untuk menyelamatkan diri, meninggalkan tiga awak yang tewas mengenaskan di sana. Dia membuka pintu lain di sana, menuntun saya naik ke lorong lain ODIN. Baru beberapa saat menyusuri lorong, Mosley berpapasan dengan astronot jahat lainnya di sana, membuat senapan astronot jahat melayang ke arah saya.

Secara otomatis saya memegang senapan itu dan si astronot jahat langsung bergerak ke arah saya, mencoba merebut senjata itu. Awalnya saya bingung dengan apa yang mesti saya lakukan, hingga Mosley berteriak memerintahkan saya untuk menembaknya. Saya menembaknya dan darah semburat keluar tepat di depan saya. Berikutnya saya kembali mengikuti Mosley yang tampak panik ke sisi lain ODIN. Kami masuk ke sebuah kabin dengan mayat-mayat astronot melayang di sana. Ada tiga astronot jahat lainnya di sana yang segera saja saya habisi satu-persatu. Situasi semakin genting dan saya kira akan semakin buruk.

Darah pertama yang saya tumpahkan di luar angkasa.
Benar saja, dari balik kaca tebal saya melihat satelit ODIN menembakkan senjatanya ke bumi dengan target tempat-tempat di Amerika Serikat. Dari percakapan saya ketahui bahwa pihak penyerang berasal dari Federation Force, entah siapa mereka, tapi mereka mengambil alih ODIN untuk niat yang buruk. Kami lalu tiba di sebuah lorong dengan api di sana, muncul astronot jahat, namun sebelum mereka sempat menembak kami, terjadi ledakan yang membuka lorong dan mengeluarkan kami secara paksa ke luar angkasa. Well, ini sangat mengagetkan.

Kami terdorong ke luar pesawat ke ruang angkasa, menabrak apapun yang ada di depan kami, hingga kami berhasil bertahan dan menemukan puing untuk berpegangan. Operator menginformasikan bahwa ODIN masih aktif dan akan menembakkan lasernya ke kota-kota penting lain di Amerika Serikat, salah satunya Washington DC dan San Fransisco. Kami lantas ditugaskan untuk mematikan satelit ODIN sebelum hal itu terjadi. Kami bergerak perlahan menuju satelit ODIN, dengan Mosley memimpin di depan.

ODIN menghancurkan Amerika Serikat.
Setibanya di sana kami membuka RCS panel dan bersama-sama menembaki tabung di dalamnya, sebagaimana yang diperintahkan operator. Baru beberapa tembakan tabung itu mengeluarkan api dan meledak, melemparkan saya menjauh. Mosley dengan cepat menangkap tangan Baker, memintanya bertahan dan menembak kembali. Saya pun menembak dari kejauhan, menciptakan ledakan yang semakin membesar, membuat saya dan Mosley terlempar. Ledakan semakin membesar memenuhi seluruh layar televisi, layar memutih dan kamera kembali ke 15 menit kemudian di mana Hesh dan Logan berusaha membuka pintu.

Sebelum saya kembali ke bumi, saya ingin mengomentari kilas balik ke luar angkasa tadi. Kilas balik ini terbilang mengejutkan dan tidak disangka-sangka. Saya kira kilas balik ini tidak perlu, karena melalui narasi saja sudah cukup, apalagi pada akhirnya karakter astronot yang saya mainkan, si Baker itu tewas juga. Tapi melihat materi dalam kilas balik tadi, saya menyimpulkan itu adalah cara yang kreatif dalam menghadirkan tutorial singkat serta sedikit prolog atas apa yang akan terjadi. Dalam kilas balik itu diperkenalkan cara menembak, ya walaupun tidak lengkap namun cukup memberikan informasi. Selain itu diperkenalkan lawan yang akan saya hadapi di sepanjang permainan nanti, Federation.

Menghancurkan ODIN berarti menghancurkan diri sendiri.
Oke, kembali ke bumi, Hesh dan Logan membuka pintu, bersamaan dengan sebuah misil yang meluncur tepat di depan mereka, menghancurkan jalanan beraspal yang ada di sana. Yang bikin saya heran sekaligus kagum, kok bisa bersamaan ya antara keluar pintu dengan misil yang menghantam bumi. Meski tampak begitu berantakan, Hesh tetap saja berlari mencari Elias, dan saya terpaksa mengikuti di antara reruntuhan dan puing-puing jalanan yang terlihat begitu mengerikan. Seakan itu belum cukup mengerikan, berbagai ledakan muncul mengiringi perjalanan kami menemukan sang ayah yang mencari truk.

Saya tidak bisa menjelaskan kehancuran yang ada di depan saya dengan begitu detail, intinya benera-benar hancur dan bisa dibilang ini salah satu opening game yang begitu menegangkan yang pernah saya mainkan. Berlari di tengah kekacauan seperti ini bukanlah hal yang mudah, saya mesti menemukan jalan yang tepat. Saya sempat terjatuh saat melompat dari reruntuhan jalanan ke sebua rumah yang tampaknya sudah luluh lantak. Saya terluka, tapi tampaknya oleh game ini dibuat demikian. Saya terus berlari mengikuti Hesh, hingga tiba di sebuah tempat, masih di reruntuhan jalanan, ketika sebuah benda berat lainnya meluncur cepat dari langit, menghantam tempat di depan kami dan melontarkan truk yang ada di sana ke arah saya.

Lihat betapa dahsyat kehancuran yang disebabkan ODIN.
Saya terhempas ledakan, terjatuh, dan semuanya berubah gelap, hingga suara Hesh terdengar memanggil nama Logan. Ketika tersadar, Elias memanggil dari kejauhan, dengan Hesh ada di depan saya. Hesh lantas memapah saya menuju ke truk dan Elias langsung datang membantu. Perjalanan ke truk tersaji dalam gerakan lambat, memberikan efek dramatis, sampai kami menaiki truk dan meninggalkan kediaman kami yang kini sudah begitu hancur. Saya melihat betapa dahsyatnya kerusakan yang disebabkan oleh serangan, entah serangan apa itu, apakah serangan laser, misil, atau mungkin sisa-sisa stasiun ODIN. Seiring truk berjalan, perlahan muncul tulisan judul game ini di layar, Call of Duty: Ghosts. Permainan baru saja dimulai.

Kali ini Hesh yang bernarasi, mengisahkan tentang lahirnya Federation, sebuah tatanan dunia baru yang muncul di Amerika Selatan pasca hancurnya gurun pasir penghasil minyak terbesar di Timur Tengah akibat senjata nuklir. Ketika ekonomi negara-negara yang bergantung pada sumber daya alam itu runtuh, Federation bangkit di Amerika Latin dan menguasai seluruh wilayah selatan Amerika termasuk Amerika Tengah. Setelah membuat ODIN berbalik menyerang Amerika Serikat, Federation bersiap untuk menguasai Amerika Serikat. Sebagian besar wilayah Amerika Serikat pun hancur, menyisakan kawah besar yang disebut “No Man’s Land”. Dan dimulainya peperangan panjang antara Amerika Serikat melawan Federation.

Hesh dan anjingnya, Riley, akan memandu saya di sepanjang permainan.
Sepuluh tahun berlalu, saya menemukan kedua jagoan saya, Hesh dan Logan, tepatnya saya terbangun sebagai Logan, berada di reruntuhan bangunan. Hesh tampak bermain-main dengan seekor anjing pelacak jenis German Sheperd. Ketika anjing bernama Riley itu tiba-tiba menyalak, jelas sebuah pertanda ada sesuatu dan Hesh memutuskan untuk memeriksanya bersama saya. Percakapan terdengar memerintahkan kami untuk pergi ke suatu tempat, tapi yang perlu saya lakukan tampaknya mengikuti Hesh kemanapun dia pergi. Hesh membuka sebuah tabir, membawa kami ke dunia luar di mana begitu banyak reruntuhan di sana.

Tampaknya saya muncul di dalam bioskop atau gedung opera, bila melihat pada tatanan kursi di sana. Saya terus berjalan mengikuti Hesh dan anjingnya, Riley, ketika saya menyadari ada beberapa rusa di sana. Tampaknya Riley mengendus rusa-rusa ini, wait... rusa? Sudah separah itukah Amerika Serikat? Kami kemudian tiba di dunia luar dan melihat betapa mengerikannya dampak peperangan antara Amerika Serikat melawan Federation. Percakapan radio memerintahkan kami untuk bertemu di suatu titik, dan dalam perjalanan ke sana terasa seperti tutorial kontrol yang lainnya.

Melihat betapa hancurnya Amerika Serikat.
Kami bertemu dengan beberapa tentara, di antaranya TwoOne. Kami mengatur strategi untuk membersihkan sisi ‘The Wall’, kalau saya tidak salah dengar. Hesh dan Riley pun kembali bergerak, dengan saya kembali mengikuti di belakang mereka melintasi dataran yang kini begitu hancur menyisakan begitu banyak lubang. Kalau tidak hati-hati akan jatuh dan permainan selesai, permainan diulang. Saya tewas sekali di sini gara-gara terlalu antusias melihat dunia luar Amerika Serikat paska serangan brutal Federation, membuat saya tidak memperhatikan sekitar dan jatuh ke dalam jurang.

Dengan lingkungan yang begitu berantakan, menurut saya wajar kalau saya pada akhirnya tidak tahu harus ke mana dan mati dalam pencarian. Di sini saya lantas memastikan kembali kalau saya mesti mengikuti Hesh dan anjingnya bila mau selamat, tidak boleh bergerak sesukanya atau mendahului mereka. Kami masuk ke sebuah puing bangunan, sepertinya kafe, dan untuk pertama kalinya saya menemukan prajurit musuh. Riley menggigit mereka yang artinya tanda bagi kami untuk melanjutkannya dengan menghabisi mereka satu per satu.

Zoom untuk menghabisi lawan.
Saya sudah begitu lama tidak memainkan game FPS, terlebih di konsol PS3 yang menggunakan analog kiri dan kanan secara maksimal. Sehingga rasanya begitu aneh dan kikuk menggunakan kedua joystick tersebut untuk bergerak, yang satu untuk berjalan dan yang satu untuk mengubah arah. Karenanya pada awal-awal permainan yang terjadi adalah saya seringkali bergerak tak tentu arah dan hilang fokus, namun tetap berjalan atau berlari, membuat saya pada akhirnya hanya berputar-putar. Tapi saya akui kontrol dua analog ini adalah kontrol terbaik untuk konsol, walaupun saya merasa kalau joystick yang saya gunakan terlalu sensitif.

Kembali ke pertempuran, saya sadari berperang secara terbuka sama saja dengan menyetorkan nyawa. Karenanya saya lebih suka memilih mencari tempat yang pas lantas berjongkok dan menembaki musuh satu per satu. Tapi saya seringnya tidak sabar dan langsung saja menghambur ke arah musuh begitu saya yakin di mana posisi musuh. Ini memang berisiko, tapi ini cuma permainan, kenapa harus begitu serius dengan segala macam presisi dan skill, gadget, atau apapun itu yang ada di benak para gamer FPS. Padahal aslinya saya aja yang gak jago main. Hehehe.

Senjata musuh tersedia untuk direbut.
Kami tiba di lokasi di mana para prajurit musuh mulai mengeksekusi tawanan mereka. Saya dan Hesh tidak bisa tinggal diam, langsung menerjang dan menghabisi mereka satu per satu. Hell yeah, saya mulai menikmati permainan ini. Kini bukan hanya saya dan Hesh, prajurit Amerika Serikat lainnya turut bertempur bersama kami. Konfrontasi terbuka pun terjadi dan pertumpahan darah tak terelakkan lagi. Kami unggul dan kini berjalan menuju lokasi sasaran. Well, saya minta maaf bila saya tidak menceritakan detail pertempuran dan lingkungan sekitarnya, karena bagaimanapun ini game FPS, kalian hanya perlu menikmati setiap peluru yang berhamburan keluar.

Setelah melewati lorong selokan, atau lorong apapun itu, saya tiba di sebuah medan tempur terbuka yang saya tebak sebagai ‘The Wall’. Di sinilah pertempuran besar itu terjadi dan saya beberapa kali mati. Terlalu banyak musuh di sini, mulai dari yang ada di darat, yang di atas helikopter, dan yang ada di jembatan menggunakan senapan mesin otomatis. Ini membuat saya tidak fokus dan berlarian kesana kemari tanpa arah, jadi sasaran empuk peluru dan granat. Pada kesempatan berikutnya saya mencoba mengulang rumus awal yaitu berada di belakang Hesh, tapi nyatanya sama sekali tidak efektif karena saya tidak bisa menembak musuh dengan tepat karena jaraknya jauh.

Memasuki medan tempur 'The Wall'
Hingga kemudian saya tidak sengaja mengganti senjata saya dengan senjata acak yang ada di tanah serta menemukan tombol untuk zoom. Di sinilah saya mulai ahli. Hell-yeah! Di titik ini saya mulai menikmati permainan Ghosts, di mana saya sudah menemukan irama permainan saya, membuat saya bisa bertahan dari serangan-serangan musuh dan berbalik membantai mereka satu per satu. Kami berhasil menguasai medan tempur sedikit demi sedikit, melewati jembatan, menyingkirkan para prajurit musuh yang tadinya bertahan di sana.

Kami tiba di ujung medan tempur dan saya mendapat tugas untuk menjatuhkan helikopter musuh menggunakan sebuah peluncur roket. Cukup lama menunggu, bersiap-siap dengan tugas ini akhirnya helikopter yang dimaksud datang, menurunkan bala bantuan di jembatan. Langsung saja saya mengarahkan peluncur roket ke arah helikopter untuk menjatuhkannya, namun kenyataannya tidak semudah itu. Butuh waktu bagi roket untuk mencapai sasaran dan saat itu terjadi helikopter telah berpaling, serangan-serangan saya banyak yang meleset. Cukup sulit, butuh waktu lama untuk bisa mendaratkan serangan telak ke badan helikopter dan pada akhirnya saya berhasil meledakkannya dengan cara menuntun roket menggunakan laser ke arah sasaran.

Cukup berdarah-darah saat membidik helikopter.
Setelah helikopter hancur, para tentara masuk ke sebuah jeep MTV termasuk saya yang naik di belakang untuk keamanan. Pintu ‘The Wall’ terbuka, kami masuk ke dalamnya di mana ada banyak tentara Amerika di sana. Tampaknya tempat ini adalah markas tentara Amerika dan itu terjawab 20 menit kemudian di Port Santa Monica, di mana mobil kami berjalan melewati semacam kompleks bangunan dengan begitu banyak tentara Amerika Serikat di sana. Riley, anjing Hesh duduk di atas mobil ‘like a boss’. Mobil lantas berhenti di depan sebuah bangunan, menurunkan Hesh, saya, dan Riley tentunya.

Hesh memimpin di depan masuk ke dalam bangunan tersebut, menaiki tangganya dan benar saja, kami berada di ruangan strategi tentara Amerika. Kami menemui Elias yang ada di sana dan terjadilah sedikit obrolan menanyakan kabar, bla-bla-bla. Elias lalu mengajak kami ke ruangannya, di mana dia mengungkap tugas kami berikutnya yaitu menyusup ke No Man’s Land alias tanah tak bertuan. Elias menegaskan, lokasi yang menjadi tujuan kami di No Man’s Land adalah kediaman kami yang artinya kami pulang setelah 10 tahun melarikan diri dari sana.

Bertemu kembali dengan Elias.
Hesh, kembali bernarasi mengisahkan tentang No Man’s Land. Tempat ini adalah apa yang tersisa dari penghancuran ODIN di wilayah antara Los Angeles dan San Diego. Kata Hesh, tempat-tempat indah yang dulu pernah mengisi hari-harinya kini dipenuhi dengan ranjau dan ditinggalkan. Katanya, ada sedikit orang yang beroperasi di sana, mengingat betapa berbahaya dan sangat tak terduganya lingkungan di sana. Hesh menyebut, bila Elias memerintahkan kami pergi ke sana, itu artinya merupakan sebuah tugas yang penting. Cukup basa-basinya, ayo kita lanjutkan permainannya.

Misi dimulai dengan layar statis berlanjut pada di mana visi hitam putih di rerumputan. Saya melihat ada dua musuh di depan saya dan dari percakapan yang saya dengar, keduanya sedang berpatroli. Hesh lantas melihat ke arah saya, bertanya apakah sudah siap dan yang terjadi berikutnya saya mengendalikan Riley menerjang salah seorang dari mereka. Terjadi keributan di sana dan pandangan kembali ke pandangan manusia di mana Hesh menghabisi sisanya. Rupa-rupanya tadi saya menggunakan alat sync yang memungkinkan saya mengendalikan Riley. Ini cukup mengejutkan mengingat tadi saya mengira sedang tiarap di rumput.

Visi sebagai Riley.
Kami kemudian bejalan menyusuri jalanan penuh semak dan tumbuhan, sisa-sisa bangunan yang ada di kota ini. Kami tiba di sebuah rumah yang ternyata adalah rumah kami 10 tahun yang lalu. Kerusakan yang ditimbulkan ODIN tampaknya begitu hebat hingga rumah ini dan lingkungan sekitarnya sulit lagi di kenali. Kami masuk ke dalam, ke pintu yang kami buka bersama dan melihat sebuah lubang besar di hadapan kami yang 10 tahun lalu kami lewati saat serangan brutal dan mengerikan itu terjadi. Semuanya begitu berubah saat ini.

Kami mengikuti Riley berjalan di tepian jurang, setidaknya itulah yang terlihat saat ini. Jurang yang begitu besar... padahal dulu ini adalah sebuah kota. Riley kemudian menyalak, mengindikasikan adanya prajurit musuh. Hesh meminta saya melakukan sync dengan Riley dan saya pun menggunakan alat canggih itu, kini berganti mengendalikan Riley. Well, buat saya ini keren ya, ini baru pertama kalinya saya ‘menjadi’ anjing dalam sebuah video game, dan yang saya baca ini juga pertama kalinya dalam serial COD pemain bisa mengendalikan anjing. Buat saya ini adalah inovasi menarik dan fitur yang membuatnya terasa fresh bila dibandingkan standar COD sebelum-sebelumnya.

Selamat datang di Kota Mati.
Oke, dengan Riley sekarang saya ada di depan reruntuhan rumah berpagar. Saya, sebagai Riley, bisa menyalak untuk menarik perhatian prajurit musuh, lalu menerkamnya dengan brutal. Ya benar, saya tidak berbohong, cara Riley menerkam dan menghabisi prajurit musuh memang terlihat sadis. Selain membunuh secara langsung, Riley juga bisa digunakan sebagai umpan agar Hesh bisa membidik sasarannya dengan tepat. Adapun untuk menyerang sebagai Riley saya perlu mendekati lawan diam-diam dan menekan tombol aksi untuk menerkam.

Setelah bagian depan aman, masih sebagai Riley, saya masuk ke dalam pagar reruntuhan rumah itu, masuk ke dalamnya dan menemukan ruangan di sana. Ada beberapa prajurit musuh bersiaga di balik tembok yang ada di sana, dan tugas saya sebagai Riley adalah menghabisi mereka semua. Di sini saya sempat dua kali gagal karena ketahuan oleh prajurit musuh dan dibunuh. Yang membuat saya kesulitan adalah kontrol untuk menyerang di mana saya mesti menahan L3 dan mengarahkannya ke depan beberapa kali. Di luar dugaan kontrol ini cukup sulit, walaupun pada akhirnya saya berhasil mengeksekusinya dan permainan pun berlanjut.


Momen yang cukup membingungkan.
Logan lantas mematikan sync dengan Riley dan saya kembali menjadi manusia, sebagai Logan mengikuti Hesh masuk ke lokasi yang sudah diamankan Riley. Kami berhenti di depan sebuah pintu ganda, bersiaga di sana mengingat terdengar suara prajurit musuh di baliknya. Baik Hesh dan Logan, masing-masing mengambil posisi di samping pintu, sementara Riley masuk ke dalam melalui Jendela yang dipecahkan Hesh. Riley membuat keributan di dalam, membuat empat prajurit musuh di dalamnya berhamburan keluar mendobrak pintu ganda itu. Semuanya terjadi dalam visual gerak lambat, dan di sinilah saya beberapa kali gagal karena prajurit musuh berhasil membunuh Hesh.

Setelah mengulang beberapa kali, saya memahami bahwa yang perlu saya lakukan adalah menembak salah seorang prajurit yang keluar sembari menembakkan senjatanya membabi buta. Saya mesti menembak prajurit itu dengan cepat sebelum dia membunuh Hesh. Adegan ini walaupun tersaji dalam gerak lambat, namun membuat saya bingung dalam bertindak mengingat warna seragam prajurit musuh sama dengan warna seragam Hesh, ditambah lagi serangan yang terjadi begitu random, membuat saya tidak tahu harus menembak ke siapa. Menurut saya adegan ini terbilang brilian karena walau dalam gerak lambat sekalipun, saya mesti bisa membuat keputusan dengan cepat.

Pertempuran brutal terjadi di sini.
Kami masuk ke dalam rumah, melintasinya dan kini berada di jalanan luar tak beraturan penuh reruntuhan serta bebatuan. Di sini terjadi pertempuran sengit antara kami melawan pasukan musuh. Selain menembak dengan senjata di tangan, kini saya juga bisa memerintahkan Riley untuk melakukan serangan brutal ke arah lawan. Jujur saja pertempuran di wilayah ini adalah pertempuran yang begitu seru karena saya terus bergerak maju menghadapi prajurit musuh yang terus-menerus berdatangan. Saya juga mesti berhati-hati dengan granat yang berkali-kali mengancam terlempar ke arah saya.

Saya cukup kesulitan menghadapi serangan granat ini karena saya akui belum memahami bagaimana mengatasinya. Saya beberapa kali kehilangan banyak darah karena terkena ledakan granat hingga saya menyimpulkan untuk bergerak menjauh saat lambang granat muncul di atas saya. Sejauh ini cukup berhasil, walaupun sebenarnya tangan saya terasa gatal untuk memegang granat dan melemparkannya kembali ke arah musuh. Selain terkena granat, beraksi secara brutal, maju dan menembak setiap musuh yang menghadang membuat saya kehilangan banyak darah. Beruntung dalam COD yang perlu saya lakukan hanya bersembunyi sejenak dari serangan musuh dan darah akan terisi penuh kembali. Yeah, saya setuju dengan apa yang kalian pikirkan, ini adalah sebuah logika aneh yang hanya ada dalam video game.

Surprise... Suprise...
Di sepanjang jalan ini, sebagaimana juga dalam pertempuran di ‘The Wall’, ada banyak senjata yang bergeletakan di depan saya yang siap untuk diambil. Namun mengingat saya tidak terlalu mengerti dengan senjata, wajar karena saya bukan maniak FPS, serta tensi permainan yang begitu cepat, saya merasa tidak perlu membuang-buang waktu mengganti senjata untuk menjajal kemampuan apa yang dimilikinya. Karena entah kenapa semua senapan itu rasanya sama saja di tangan saya, dan saya juga sudah merasa nyaman dengan senjata yang ada di tangan saya. Daripada nanti bingung menggunakan senjata baru yang berujung buang-buang waktu, lebih baik setia dengan yang ada sepanjang masih berguna membantai musuh.

Menembakkan senjata secara brutal adalah sebuah keseruan tersendiri dalam game FPS, termasuk dalam COD: Ghosts. Tapi kadang rasanya menyebalkan saat peluru terbuang sia-sia dan saya mesti menggantinya tepat ketika musuh berada dalam posisi tembak yang pas. Akibatnya berbalik saya jadi sasaran tembak empuk dan banyak darah yang mesti terkuras. Saya tidak protes, mengingat saya tidak pakar bermain FPS sementara elemen mengganti peluru adalah elemen penting dalam game ini. Para developer game FPS sendiri bisa dibilang membuat genre ini semakin mudah dimainkan berkat logika tidak masuk akal lainnya di dunia video game, yaitu peluru yang tidak terbatas. Sehingga walaupun tidak masuk di nalar, tetapi sensasi keseruannya tidak ada matinya.

Terowongan penuh rongsokan kendaraan.
Kembali ke permainan, kami masuk ke bangunan menyerupai gudang yang terlihat berdiri kokoh, melintasinya dan tiba di platform menyerupai kayu. Setelah membersihkannya dari keberadaan musuh, kami tiba di jalanan lain dengan begitu banyak rongsokan kendaraan di kanan-kirinya, menuju ke sebuah terowongan di sana. Situasi cukup lengang, hingga terdengar suara kendaraan. Hesh memimpin dan bergerak merapat ke dinding terowongan, berlindung di balik puing-puing mobil yang ada di sana. Kami mengendap-endap menyusuri terowongan saat tiga kendaraan berat muncul dan melewati terowongan. Hesh mengatakan untuk membiarkan kendaraan-kendaraan itu melintas, dan setelah semuanya pergi, kami kembali ke tengah terowongan.

Hesh berhenti di ujung terowongan, berlindung dan memberi isyarat menunggu. Di luar saya lihat ada banyak prajurit musuh dengan iring-iringan kendaraan berat melintas di sana, di samping sebuah bangkai kapal laut yang cukup besar. Riley melumpuhkan salah seorang prajurit di sana, dan kini giliran kami untuk beraksi. Karena tidak sabaran, saya langsung saja keluar dan menembak membabi-buta ke arah prajurit di sana, yang berujung pada kegagalan. Rupa-rupanya objective saya adalah terus bergerak maju tanpa terdeteksi musuh. Sayang saat saya akan mengulang permainan, waktu satu jam telah terlewati dan ya, itu artinya permainan saya harus berakhir.

Ada kalanya saya tidak boleh menembak membabi-buta.
Satu jam telah terlewati dan sekarang saatnya saya untuk memberikan ulasan singkat serta kesimpulan dalam permainan selama satu jam ini. Jujur saya kaget saat menyadari waktu satu jam berlalu begitu saja, karena rasanya kok cepat sekali ya? Apa mungkin karena saya begitu terhanyut dalam permainannya yang berlangsung begitu cepat, seru, dan menegangkan? Sepertinya sih iya. Jarang-jarang lho saya merasakan waktu satu jam berlalu dengan begitu cepat dengan permainan yang berjalan dengan konten penuh tanpa pengulangan berarti seperti ini. Dengan impresi awal seperti ini, saya pikir ulasan saya, Gamer Jalanan, tentang game COD: Ghosts ini akan positif. 

Kita mulai dari segi grafis, menurut saya Ghosts melanjutkan tradisi serial COD dengan menghadirkan visualisasi yang tidak setengah-setengah dan begitu menjiwai apa yang ingin ditampilkannya. Maksud saya adalah, lihatlah betapa di menit-menit awal permainan saya sudah disambut dengan berbagai ledakan maha dahsyat yang membuat jantung berdebar-debar dan pikiran bertanya-tanya apa yang akan terjadi? Apakah ini akan menjadi semakin buruk? Sensasi tersebut muncul karena begitu briliannya ekseskusi visual yang dilakukan Infinity Ward selaku pengembang game ini.

Grafis Ghosts terbilang keren.
Keseluruhan lingkungan dalam permainan ini digambar begitu baik layaknya dunia yang sebenarnya. Terlebih suasana post-apocalyptic yang begitu terasa, 10 tahun setelah kehancuran itu dimulai. Puing-puing bangunan, reruntuhan, jalanan yang rusak, rerumputan dan tumbuhan yang menyelimutinya, hingga kehidupan liarnya, digambar dengan baik. Suasana kehancurannya begitu terasa di sepanjang permainan, membuat saya berdacak kagum dan membatin, ‘Lihatlah Amerika sekarang, begitu hancur dan menyedihkan.’ Lubang besar bekas serangan ODIN serta jurang-jurang di sekitarnya merupakan bukti bahwa Infinity Ward begitu meluangkan waktu dalam menciptakan detail-detail yang dirasa perlu.

Grafis ledakan yang begitu memukau, cipratan darah, desingan peluru, semua itu menjadikan saya hanyut dalam lingkungan perang yang terasa seperti sebenarnya. Inilah mungkin yang membuat satu jam permainan terasa begitu cepat. Saya kagum dengan bagaimana cara Infinity Ward menggambarkan sisa-sisa bangunan besar yang kini terlihat tak beraturan dipenuhi rerumputan. Pun dengan berbagai rongsokan kendaraan, semuanya terasa lengkap memenuhi dunia pasca kehancuran dalam Ghosts. Buat saya, pengembangan visual ini begitu berperan dalam menghidupkan atmosfer yang ingin disampaikan Ghosts, dan itu sangat berhasil.

Sync dengan Riley.
Meski begitu saya melihat celah kekurangan dalam penggambaran karakter manusia. Entah kenapa saya melihat wajah-wajah prajurit dalam game ini begitu generik dan minim variasi. Saya melihat prajurit-prajurit ini memiliki wajah yang sama. Bahkan Elias dan Hesh memiliki wajah yang sama, ya walaupun mereka ayah dan anak, tapi tetap harus ada perbedaan. Meski begitu kekurangan ini bisa dimaafkan karena sebagaimana dalam game-game FPS, yang dipedulikan hanyalah bagaimana sensasi pertempuran itu bisa terasa hidup. 

Di sisi lain, penggambaran karakter binatang dalam game ini terbilang baik. Saya katakan ini setelah melihat betapa sempurnanya penggambaran Riley. Saat pertama kali melihat Riley bermain dengan Hesh, saya terkejut karena anjing ini tampak seperti anjing asli. Ditambah lagi dengan animasi pergerakannya yang begitu halus, benar-benar seperti video anjing pelacak di dunia nyata. Soal grafis ini sendiri saya agak heran ya, karena saat membaca beberapa komentar gamer di YouTube, banyak yang mengatakan game ini memiliki grafis yang buruk di PS3. Tapi yang saya lihat ya biasa-biasa saja, maksudnya grafisnya ya bagus, sama seperti game-game PS3 kebanyakan. Atau mungkin pendapat saya ini dikarenakan saya adalah tipe gamer yang tidak terlalu mempermasalahkan grafis sepanjang game itu memiliki permainan yang seru, menyenangkan, dan adiktif.

Lingkungan post-apocalyptic begitu terasa.
Beralih ke segi audio alias suara, well, bila game ini sukses menghanyutkan saya dalam suasana pertempuran yang begitu seru, itu artinya game ini memiliki efek suara yang begitu meyakinkan. Suara dalam game ini menurut saya diramu dan diletakkan dalam posisi yang tepat. Kesunyian, gempa, ledakan, keributan, ketegangan, semuanya terdengar sebagaimana mestinya terdengar. Bahkan langkah kaki hingga suara pergerakan rumput sekalipun, terdengar begitu nyata. Saya tidak akan membahas suara peluru karena saya yakin kalau Infinity Ward sudah sangat berpengalaman dengan COD, jadi ya hal itu sudah tidak usah diragukan lagi. Singkatnya, seperti yang sudah-sudah, suara dalam Ghosts terdengar menawan.

Gameplay Ghosts tidak jauh berbeda dengan game FPS lainnya maupun game COD sebelumnya. Yang perlu kalian lakukan hanya menembaki setiap musuh yang ada, sedikit berstrategi untuk memenuhi objective dan mencoba untuk bertahan hidup agar tidak mati. Sederhana. Yang membedakannya dari game-game terdahulu adalah adanya fitur sync dengan anjing, dalam hal ini Riley, yang menurut saya merupakan sebuah inovasi menarik baik untuk genre FPS maupun franchise game ini. Cukup menyenangkan rasanya mengendalikan Riley, membuat saya berlarian dengan begitu antusias tak peduli bahaya yang menunggu di depan. Menarik perhatian dengan gonggongan lantas menerjangnya adalah sebuah kesenangan tersendiri bagi saya.

Percayalah kalian akan antusias dengan fitur 'menjadi anjing' ini.
Saya tidak bicara gameplay untuk mode multiplayer, mengingat dalam satu jam ini yang saya mainkan adalah mode single-player campaign saja. Dari yang saya baca mode multiplayer dalam game ini terbilang inovatif dan fresh, sementara mode campaign-nya mendapat kritikan kaeran tidak jauh berbeda dari seri-seri sebelumnya. Katanya hanya sekadar mengulang apa yang sudah ada di COD sebelumnya. Saya tidak terlalu mengikuti perkembangan game COD, tapi kalau buat saya sih ya memang beginilah game FPS. Mau dibikin seperti apa lagi coba? Dalam hal ini fitur sync dengan Riley adalah sesuatu yang perlu diapresiasi dan saya harap ada pada installment merikut dari serial ini.

Dari segi kontrol, kalau buat gamer FPS tampaknya apa yang mesti ditekan dalam COD: Ghosts adalah makanan sehari-hari. Apalagi buat mereka yang punya skill dan mereka yang ngaku punya skill. Tapi buat saya, kontrolnya adalah apa yang tidak saya suka dari video game: kontrol yang rumit. Sangat memusingkan menggerakkan dua analog bersamaan untuk sudut pergerakan dan bidikan yang tepat, dan seperti yang sudah saya jelaskan di atas, membuat saya kebingungan dan seringkali berputar-putar. Meski begitu saya menemukan kontrol game ini terbilang begitu responsif, sementara bagi saya yang tidak familiar dengan skema ini yang dibutuhkan hanya sedikit penyesuaian.

Kini beralih pada sisi narasi, yang buat saya selama satu jam permainan ini terbilang menghibur. Saya memainkan Ghosts tanpa pengetahuan apapun mengenai game ini. Saya bahkan sempat salah mengira game ini sebagai Black Ops seri pertama. Karenanya ketika saya memainkan game ini saya cukup terkejut dengan premis cerita yang ditawarkan. Sekali lagi saya berperan sebagai tentara Amerika Serikat, yang menurut saya akan selalu menjadi pahlawan dalam setiap game FPS yang ada. Dan sebagaimana Amerika Serikat yang selalu menjadi pahlawan, berbagai negara yang kiranya bertentangan dengan ideologi Amerika Serikat akan selalu menjadi musuh bahkan dalam video game sekalipun.

Saya hampir tiba di adegan ini saat waktu satu jam telah berakhir.
Saya sudah melihat negara-negara Afrika, Timur Tengah, Tiongkok, Korea, Jerman, Jepang, Rusia, bahkan Indonesia menjadi antagonis dalam game-game bertema militer, khususnya COD. Kini dalam Ghosts, saya menemukan Amerika Latin menjadi ancaman bagi negeri Paman Sam dalam bentuk Federation. Kadang saya penasaran dan ingin melihat kalau-kalau di kemudian hari akan ada video game bertema militer yang menjadikan Amerika Serikat sebagai penjahatnya. Atau mungkin game seperti ini sudah pernah ada, hanya saja saya belum tahu? Bila kalian tahu game seperti ini eksis, tolong tuliskan judulnya di kotak komentar ya.

Cerita tentang terbentuknya federasi Amerika Latin yang begitu kuat buat saya adalah sebuah kisah yang menarik dan fresh. Apalagi sampai bisa meluluhlantakkan Amerika Serikat, itu terdengar sangat keren. Itulah kenapa saya suka dengan cerita film ‘Olympus Has Fallen’, walaupun sayangnya Amerika tetap saya jadi pihak pemenang di akhir ceritanya. Buat saya dipilihnya Amerika Latin adalah sesuatu yang baru dan memberikan warna bagi genre FPS, yang selama ini selalu didominasi cerita-cerita berbau teroris. Karena Federation, sebagaimana dikisahkan dalam game ini, bukanlah teroris. Mereka ada kekuatan dunia baru layaknya Uni Soviet. Ini seperti menciptakan tema Perang Dunia ketiga, layaknya tentara sekutu melawan tentara poros dalam Perang Dunia kedua.

Sayang saya belum sempat menjadi anggota Ghosts.
Dari yang saya baca di internet, segi narasi Ghosts banyak mendapat kritik karena jalinan cerita yang kurang kuat serta ending yang buruk. Saya tidak bisa setuju atau tidak setuju dengan pendapat tersebut, karena yang saya mainkan baru satu jam dari game ini. Dan dari satu jam permainan tersebut saya melihat sebuah premis yang menarik, terlebih konsep “No Man’s Land”. Kalaupun saya memainkan campaign game ini sampai habis, mungkin pendapat saya akan berbeda dari apa yang saya tulis di sini.

Tapi dari yang saya baca, ending dari game ini sebenarnya bisa menjadi peluang untuk menciptakan sekuelnya. Walaupun tetap saja bagi saya sebuah akhir yang buruk apalagi menggantung dalam sebuah game yang utuh merupakan sesuatu yang mengecewakan. Khususnya ya, apa yang terjadi pada Baker, astronot yang sempat saya kontrol di awal permainan. Meskipun terasa seperti sebuah tutorial, menyadari karakter yang kita mainkan kemudian sengaja ‘dibuat’ mati rasanya seperti sebuah kesia-siaan. What the h***? Saya berusaha bertahan hidup selama mungkin dan developer game memaksa karakter saya mati?

Memainkan karakter yang ditakdirkan untuk mati dalam game.
Maksudnya, buat apa saya mengendalikan karakter yang kemudian mati? Well, meski hal ini terbilang umum, karena saya sering menemukannya pada game-game lainnya baik game COD itu sendiri maupun game-game non-FPS lainnya, tetap saja ya rasanya aneh. Setidaknya karakter-karakter tersebut mati untuk sebuah tujuan dalam video game yang saya mainkan. Seperti Tellah yang mati demi menyelamatkan Cecil dan kawan-kawannya di Final Fantasy IV atau Crono yang mati untuk bangkit kembali demi memberikan unsur dramatis dalam game Chrono Trigger, pun dengan Aeris dalam Final Fantasy VII. Entahlah, mungkin saya lebih cocok dengan game-game di mana kematian karakternya hanya bergantung pada seberapa jago saya memainkannya, seperti mungkin Contra.

Oke-oke, lupakan tentang karakter yang mati, yang hidup harus tetap melanjutkan kehidupan. Sebuah video game takkan banyak berarti bila tidak memiliki replay value alias seberapa menariknya game tersebut untuk dimainkan kembali. Mengingat Ghosts adalah game FPS, maka kekuatan sebenarnya game ini ada di mode multiplayer. Untuk mode ini, replay value terbilang tinggi apalagi ada beragam varian mode multiplayer yang bisa dipilih. Sudah bukan rahasia lagi bila COD menjadi salah satu game multiplayer terbaik saat ini, dan Ghost pun memiliki napas yang sama. Sementara kalau untuk single-player campaign, menurut saya akan segera terlupakan saat permainannya sudah diselesaikan.

Ketika Amerika Serikat berakhir menjadi No Man's Land.
Kesimpulannya, Call of Duty: Ghosts adalah sebuah FPS generik yang mencoba menawarkan rasa baru. Well rasa baru inilah yang mungkin tidak disukai semua penggemar genre ini, tapi at least game ini sudah mencobanya. Kontrolnya mungkin standar dan narasinya, walaupun menurut saya keren, banyak dinilai kurang kuat oleh para kritikus. Yang membuat game ini bersinar adalah fitur multiplayernya, khususnya fitur baru Extinction yang diklaim begitu menyenangkan untuk dimainkan. Saya tidak bisa banyak bicara tentang fitur multiplayer ini karena yang saya mainkan baru single-player campaign, tapi apa yang dikatakan para kritikus game cukup menjadi jaminan. Mode single-player game ini sendiri menurut saya cukup menarik dan menghanyutkan, buktinya satu jam terlewati begitu saja tanpa terasa.

Akhirnya, setelah satu jam bermain, saya pikir tidak ada salahnya untuk saya kembali memainkan game ini bila kondisinya memungkinkan. Saya penasaran bagaimana ujung permainan ini nantinya dan ingin melihat seberapa mengecewakannya ending dari game ini. Pun begitu memainkan game ini begitu mengasyikkan, terlepas fakta bahwa saya bukanlah maniak game FPS. Saya bisa begitu hanyut dan... well, ini COD, hal yang sama terjadi pada saya saat saya memainkan game COD 4: Modern Warfare, di mana sulit rasanya untuk berhenti memainkan game ini padahal saat itu saya memainkannya di komputer milik teman.

Call of Duty adalah sebuah pengalaman FPS yang menarik, dan saya setuju hal itu walaupun saya rasa terlalu banyak iterasi juga tidak menyehatkan bagi serial ini. Untungnya saya sangat jarang memainkan serial game ini. Tapi saya tertarik memainkan game ini secara multiplayer dengan rekan saya bila memungkinkan. Apalagi saya penasaran dengan mode Extinction yang kayaknya kok menjanjikan sekali. Dari skala 1 sampai 10, saya beri game ini nilai impresi 8 yang artinya layak untuk dimainkan kembali. Saya bukan penggemar FPS, juga bukan penggemar Call of Duty, tapi saat saya butuh pengalaman menembaki orang secara brutal, Ghosts jelas bisa jadi pilihan. Saya Gamer Jalanan, terima kasih sudah membaca pengalaman saya ini dan... Salam Gamer!  (gj)

*NB: Gambar-gambar screenshot diambil dari YouTube.

No comments:

Post a Comment