Tuesday, June 28, 2016

Satu Jam Bermain 'Assassin's Creed III'

(sumber gambar: gamescracker.org)
Satu jam tidaklah cukup untuk bermain video game. Apalagi video game zaman sekarang memiliki rentang waktu permainan hingga berjam-jam dengan tingkat kesulitan yang memaksa kalian memainkannya berulang-ulang. Tapi satu jam terbilang cukup untuk memberikan kesan kepada gamer mengenai tampilan game tersebut, dari segi visual, audio, dan gameplay. Dan bagi saya, Gamer Jalanan, satu jam sudah cukup untuk mengetahui bagaimana keseluruhan permainan bakal berjalan, dan cukup waktu untuk menentukan melanjutkan permainan atau menghentikannya.

Di bulan Juni ini saya akan mengajak kalian bermain game action-adventure dengan elemen stealth yang kental, ‘Assassin’s Creed’. Awalnya saya bingung mau memainkan yang mana, ‘Assassin’s Creed III’ atau ‘Assassin’s Creed IV: Black Flag’, mengingat keduanya sama-sama ada di PlayStation 3 (PS3) yang saya mainkan. Tapi akhirnya saya memilih memainkan seri ketiganya agar lebih kronologis. Dirilis tahun 2012 oleh Ubisoft, game ini merupakan game kelima dari serial ‘Assassin’s Creed’ yang merupakan sekuel langsung dari game ‘Assassin’s Creed: Revelations’. 


Assassin’s Creed adalah salah satu serial game yang ingin saya mainkan. Serial ini memiliki basis penggemar yang terbilang banyak, dengan jumlah game yang terbilang banyak pula di mana setiap tahunnya selalu ada judul baru. Apalagi serial ini bakal diadaptasi menjadi film layar lebar yang dibintangi Michael Fassbender. Tentu ini adalah kesempatan merasakan langsung permainannya, setelah selama ini saya hanya mendengar dan melihat secara sekilas gameplay dari game Assassin’s Creed. Elemen stealth adalah salah satu kesukaan saya, dan tentu saya penasaran dengan bagaimana hal ini diterapkan dalam Assassin’s Creed. 

Prolog dari sudut pandang ayah Desmond Miles.
Assassin’s Creed III dibuka dengan logo pastinya, diikuti keterangan bahwa game ini terinspirasi dari kejadian sejarah, namun secara garis besar adalah fiksi. Keterangan ini menurut saya cukup membantu, mengingat kejadian sejarah merupakan hal yang sensitif dan dapat diperdebatkan keakuratannya. Tampaknya Ubisoft ingin bermain aman dan memang seharusnya mereka begitu. Ketimbang nanti diprotes pihak-pihak yang merasa tersakiti dengan penggambaran yang dianggap tidak sesuai kenyataan. Faktanya, walaupun telah mencantumkan keterangan seperti ini, toh Assassin’s Creed III tetap diprotes gara-gara penggambaran koloni Amerika yang disebut menyimpang. Well, saya membaca ini di Wikipedia.

Video mulai muncul, menunjukkan seorang lelaki tua di masa kini yang tengah merenung melihat keluar kaca gedung, menyaksikan pemandangan malam suatu kota. Pria ini bercerita tentang anaknya, Desmond Miles, tentang sebuah kisah di masa lalu mengenai Templars, Assassin, dan lain sebagainya. Saya tidak akan menceritakan prolog ini secara detail karena kenyataannya saya tidak mengerti jelas apa yang digumamkan bapak-bapak ini. Pasalnya dia bercerita dengan begitu cepat dan kapasitas pemahaman saya akan bahasa Inggris tidak cukup cepat untuk bisa menangkap apa yang dikatakannya. 

Menuju ke 'Temple'
Meski begitu sekilas saya bisa mengetahui bahwa Desmond Miles adalah remaja putus asa yang berperan penting demi kelangsungan umat manusia. Correct me if I’m wrong, dia adalah keturunan Assassin yang memiliki beban berat mencegah terjadinya kiamat 2012 pada tanggal 21 Desember 2012. Untuk melakukannya, Desmond dan rekan-rekannya mesti mencari informasi dari kejadian di masa lalu yang berhubungan dengan leluhurnya dengan menggunakan teknologi canggih yang disebut Animus. Desmond bersama ayahnya dan dua figuran lainnya yaitu seorang cewek dan seorang lelaki berkacamata lantas bepergian dengan mobil ke sebuah lokasi di Kota New York, di mana mereka tiba di tempat antah berantah, sebuah gua kecil dengan bebatuan di sekitarnya.

Ketika sang ayah bilang ‘Let’s Go’, saya mulai mengendalikan Desmond yang memasuki gua tersebut bersama ayah dan dua figuran lainnya yang masing-masing membawa kotak. Pemuda berambut cepak dengan pakaian sporty ini lantas tiba di ujung gua, sebuah tembok kokoh dengan beberapa grafiti dan ada sebuah lubang di tengahnya. Desmond lantas mengeluarkan sebuah benda berbentuk bola sekepalan tangan, sedikit lebih besar, berwarna keemasan yang langsung saja bersinar menyinari kegelapan di dalam gua. Benda ini dalam prolognya disebut sebagai ‘Apple of Eden’.

Desmond Miles, jagoan kita di game ini.
Jagoan kita ini lalu memasukkan bola tersebut ke dalam sebuah lubang di tembok, yang lantas mengaktifkan sesuatu di tembok tersebut. Bukan, itu bukan tembok, itu sebuah pintu. Pintu tersebut terbuka ke atas, membuka sebuah jalan ke tempat yang disebut dalam game ini sebagai ‘Temple’. Desmond cs. pun masuk ke dalamnya, sebuah koridor yang begitu panjang, gelap, dan kelihatannya dingin. Desmond kembali menemukan pintu lainnya, yang terbuka dengan bantuan ‘Apple of Eden’. “I think we’re here,” kata Desmond, yakin bahwa mereka telah berada di tempat yang tepat.

Pintu emas tersebut membawa pada jalan turunan yang curam, dengan Desmond meluncur masuk ke dalamnya. Desmond terus menelusuri jauh ke dalam hingga dia menemukan objek kotak yang menyerupai cube dalam film Transformers. Desmond lalu memasukkannya ke dalam lubang di papan batu yang ada di sana, seakan menyalakan sebuah mesin di sana. Ruangan tiba-tiba berubah terang menyala, dengan garis-garis futuristik di sana, memunculkan sebuah dinding transparan yang saya duga sebagai portal ke dunia lain. Saat Desmond menerka-nerka apa yang ada di hadapannya, sebuah suara perempuan lantas berkata padanya untuk menemukan kuncinya.

Berada dalam Animus.
Di sinilah semuanya mulai terasa aneh. Sang ayah menepuk bahu Desmond, memanggilnya. Namun ketika Desmond menoleh, yang muncul adalah seorang lelaki tua berpakaian ala prajurit Eropa. “Here we go again,” kata Desmond sebelum dia tiba-tiba pingsan. Ketika terbangun, Desmond berdiri di sebuah tempat yang semuanya terlihat putih. Sang ayah, melalui suaranya menjelaskan bahwa Temple menghasilkan bleeding effect, entah apa artinya itu dan kini Desmond memasuki kondisi fogue state, yang saya juga tidak mengerti apa artinya. Desmond lantas menyimpulkan kalau dia telah memasuki Animus dan sang ayah menimpali bahwa Temple berusaha berkomunikasi dengannya. Terdengar semakin membingungkan, tapi saya mencoba untuk tetap mengikuti jalan ceritanya.

Desmond menyadari Juno, suara yang memanggilnya saat portal terbuka, adalah yang menyebabkan terjadinya bleeding effect. Figuran perempuan lantas mengatakan pada Desmond dia akan membantu memperbarui informasi yang berguna bagi Desmond di dalam Animus. Mungkin sederhananya si Desmond ini memasuki virtual reality gitu ya. Lingkungan yang sebelumnya begitu putih di sekitar Desmond lantas berubah menjadi koridor-koridor hitam putih yang teksturnya tampak bergerak-geraknya layaknya tengah dibangun.
Segmen tutorial singkat di dalam Animus.
Di sini saya, sebagai Desmond, mesti melakukan beberapa aksi sesuai perintah tombol yang ada seperti berlari, melompat, dan memanjat dengan tombol-tombol yang mesti saya tekan muncul di layar. Sepertinya ini adalah elemen tutorial yang coba dipadukan agar bisa menyatu dengan gamenya secara alami. Saya harap tutorial ini tidak berlangsung terlalu lama karena pencarian Desmond pada ‘Temple’ saja sudah memakan waktu yang cukup lama untuk rentang waktu satu jam permainan. Sebagaimana game-game action-adventure buatan Ubisoft, Assassin’s Creed III menggunakan sudut pandang third-person view yang memang sangat efektif untuk genre ini.

Dari tutorial singkat yang saya lewati ini, saya bisa mengetahui bagaimana gameplay atau pergerakan dalam game ini. Kontrolnya terbilang sederhana dan mudah, di mana setiap aksi mulai dari memanjat dan melompat terjadi secara otomatis saat saya tiba di tempat-tempat di mana aksi-aksi tersebut bisa dilakukan. Seperti yang sudah saya duga, aksi-aksi akrobatik dan parkour kelihatannya bakal umum temui di sepanjang Assassin’s Creed III, sebagaimana tergambar dalam segmen tutorial ini yang meliputi beranjak dan bergelantungan dari satu platform ke platform lainnya.

Memasuki Gedung Opera sebagai Haytam Kenway.
Setelah serangkaian melompat dan memanjat, saya tiba di tutorial membunuh, tepatnya ‘air assassination’. Praktik mengeksekusi musuh dengan melompat dari atas ini begitu mudahnya dieksekusi hanya dengan menekan satu tombol. Sepertinya semua elemen stealth dalam video game memang efektif dibuat seperti ini, mengendap-endap lantas menyergap musuh dari belakang dengan sekali tekan, sebagaimana sebelumnya saya rasakan dalam satu jam bermain game ‘Batman: Arkham Asylum’. Adapun yang saya bunuh dalam Air Assassination di tutorial ini adalah dua orang prajurit bergaya Eropa.

Mengikuti tanda segitiga enam berwarna hijau, saya tiba di akhir tutorial di mana konstruksi bangunan di sekitar saya kini berubah menjadi semakin jelas teksturnya, tidak lagi hitam putih seperti sebelumnya. Karakter saya, Desmond Miles kini berubah menjadi karakter lelaki berpakaian seperti Eropa era Rennaisance. Saya, kini sebagai lelaki tersebut disambut seorang pria yang mengatakan apa yang harus saya lakukan. Langkah kaki saya membawa ke sebuah pintu, yang ketika saya buka, saya memasuki sebuah gedung teater yang begitu luas. Seorang penerima tamu di sana langsung menanyakan undangan.

Mencari tempat duduk.
Saya memberikan topinya yang berisi undangan kepada si penerima tamu dan berlalu begitu saja, berjalan memasuki bagian dalam gedung opera. Dari Kota New York di tahun 2012, kini saya berada di London tahun 1754, tepatnya di Theatre Royal, Covent Garden. Ini adalah misi pertama dalam Assassin’s Creed III, dan apa yang mesti saya lakukan pertama kali, sebagaimana yang ditulis di pojok kiri atas layar adalah menemukan tempat duduk. Di sini saya cukup tergelitik karena Ubisoft begitu cerdik membuat pencarian kursi ini terasa seperti nyata, dalam hal ini saya merasa seperti benar-benar sedang mencari kursi di bioskop.

Ketika berhasil duduk, seseorang di samping saya mengajak bicara dan dari dialah saya tahu siapa nama karakter yang saya mainkan yaitu Haytam Kenway. Setelah sedikit chit-chat, tugas saya kini menemukan ‘golden target’ di opera ini. Setelah melihat sekeliling menggunakan ‘Eagle Vision’, saya menemukan ‘target emas’ yang dimaksud. Target ini, seorang pria sepertinya, berada di balkon atas, di tingkat ketiga. Segera setelah menemukan target saya, tugas beralih pada menemukan tempat yang pas untuk memanjat. Bukan hal yang sulit menemukannya, di mana saya melihat sebuah tangga pada balkon sebelah kiri deretan kursi yang saya duduki.

'The Golden Target'.
Saya segera beranjak dari kursi dan bergerak perlahan keluar dari deretan kursi. Lagi-lagi saya tergelitik ketika saya mendorong paksa seorang penonton yang ingin beranjak berdiri sehingga dia kembali duduk di kursinya. Cepat saja saya mencapai tangga tersebut karena ada tanda segienam di layar yang membuat navigasinya menjadi lebih mudah. Ditambah lagi tombol perintah aksi kembali muncul saat saya tiba di tangga kayu tersebut, yang menurut saya menjadikan segmen tutorial di awal permainan tadi jadi sia-sia. 

Saya mulai memanjat dinding balkon ruang opera ini satu persatu, bergelantungan dan bergeser dari satu sisi ke sisi yang lainnya untuk mencapai balkon paling atas. Hebatnya saya, sebagai Haytam Kenway, tidak terdeteksi satu pun penonton yang ada di balkon. Saya menemukan para penonton ini melakukan banyak aktivitas menarik saat saya menyusuri dinding balkon dan yang paling menarik adalah adanya pasangan penonton yang asyik sekali berciuman di sana. Seperti yang sudah saya jelaskan dalam segmen tutorial tak kasat mata, pergerakan memanjat ini begitu responsif dan berjalan otomatis setiap kali saya tiba di tempat di mana pergerakan dan perpindahan bisa dilakukan.

Kedua penonton ini menikmati waktu mereka sendiri.
Saya akhirnya tiba di balkon paling atas dan mendarat di lobi kosong yang berdekatan dengan panggung. Objective lalu berubah di mana saya mesti menemukan jalan ke belakang panggung. Tidak sulit, membuat saya berani berasumsi di awal permainan ini bahwa mungkin semua objective kecil dalam game ini dibuat sebegitu mudahnya agar bisa diselesaikan dalam hitungan detik saja. Tapi asumsi saya tampaknya terlalu dini karena saya menemukan pintu menuju belakang panggung terkunci, mengharuskan saya membukanya dengan cara yang tidak biasa.

Mekanik permainan membuka pintu yang terkunci dengan gaya lock-pick ini menurut saya menarik. Di sini saya bukan hanya asal menekan tombol, namun dibutuhkan teknik dan presisi yang tepat dalam menekan tombol yang ada agar pintu tersebut bisa dibuka. Awalnya saya cukup kesulitan dengan mekanik yang terbilang baru bagi saya dikarenakan saya mesti menahan satu tombol dan menjaganya tetap stabil sementara saya memutar tombol lainnya berulang-ulang. Cukup sulit melakukannya dan beberapa kali saya gagal sebelum akhirnya berhasil membuka pintu tersebut.

Mekanik membuka pintu yang terkunci.
Saya tiba di beberapa panggung dan kali ini saya mesti menemukan cara untuk melintasi panggung tanpa ketahuan oleh orang lain. Objective ini sebenarnya sangat mudah, namun mungkin karena saya kurang sabar sehingga saya berkali-kali jatuh ke panggung dan gagal. Well, tidak terlalu banyak trial and error sih, karena berikutnya saya berhasil menemukan jalannya dengan bergelantungan pada properti panggung, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya menuju ke balkon seberang tempat target saya berada.

Yang membuat saya sempat kesulitan dalam aksi ini adalah, karena tidak terlihat batas yang jelas di mana saja tempat-tempat yang bisa saya jangkau untuk bergerak lebih jauh lagi. Meski begitu buat saya ini bukanlah masalah, malahan buat saya hal ini brilian. Kenapa saya bilang begitu karena lingkungan permainan yang ada dibuat sedemikian detail dan menyatu dengan permainannya, tinggal bagaimana pemainnya bisa menjadi kreatif dalam melihat lingkungan sekitarnya tersebut untuk mencapai tujuan. Dalam artian, pemain, dalam hal ini saya, dibawa dalam situasi sebagaimana yang terjadi di dunia nyata, tanpa ada garis tebal atau petunjuk tertempel di berbagai objek di sekitar kita.

Target pertama saya.
Pada akhirnya saya tiba di balkon tempat target saya berada, dan segera saja membuka pintu yang ada di sana yang rupanya langsung menuju ke tempat target saya berada, seorang lelaki tua dengan gaya rambut Eropa. Target tengah duduk santai menyaksikan opera, sepertinya tidak menyadari keberadaan saya tapi saya salah. Saya duduk tepat di belakangnya dan dia menyapa terlebih dulu tanpa menoleh, mengatakan dugaannya atas kedatangan saya. Lalu terjadilah sedikit percakapan dengan keduanya saling meminta maaf satu sama lain. Si Target tampaknya tahu saya akan membunuhnya namun seolah pasrah, dan pisau  dari tangan Haytam Kenway menusuk punggung kursi menembus jantung pria malang tersebut.

Usai menghabisi target, saya mengambil kalung di lehernya dan hey! What the heck! Ada anak kecil yang menyaksikan pembunuhan tersebut! Bagaimana ini? Bagaimana ini? Apa saya mesti membunuh anak kecil itu juga? Untungnya tidak, Haytam Kenway hanya memberikan isyarat menempelkan jari di bibirnya kepada si bocah dan berjalan pelan meninggalkan ruangan, berpapsan dengan dua pelayan yang masuk ke dalam ruangan target. Kini objective yang harus saya penuhi adalah keluar dari gedung opera. Saya pun berjalan santai, atau berjalan cepat tepatnya, walaupun saya sama sekali tidak merasa cepat, berusaha meninggalkan gedung opera secepat mungkin sebelum aksi saya ketahuan.

Melarikan diri di tengah kerumunan.
Ketika saya berjalan menyusuri koridor gedung opera, saya mulai mendengar teriakan dan suasana mulai terdengar ricuh. Ya mungkin kedua pelayan tadi sudah menemukan target menjadi mayat, yang itu artinya saya mesti berjalan lebih cepat menuju pintu keluar yang ditunjukkan dengan tanda segienam di layar. Terjadi keributan di koridor, di sepanjang jalan yang saya lewati dengan beberapa orang bertengkar atau apalah. Terdapat juga kerumunan orang di tengah koridor yang membuat saya mesti memaksa mereka menyingkir dengan mendorong mereka dari jalan saya. Tampaknya orang-orang ini mulai panik saat menyadari telah terjadi pembunuhan di gedung opera. 

Oke, saya percepat saja bagian keluar dari gedung opera, karena sebuah kereta kuda telah menunggu saya di depan gedung opera. Saya masuk ke dalamnya, memandangi kalung lingkaran yang saya rampas dari target saya tadi, dan kereta pun mulai berjalan. Adegan lantas berganti di sebuah ruangan dengan beberapa orang tampak duduk melingkar di meja makan yang panjang dan luas, membicarakan sesuatu tentang kalung tersebut. Konon kalung itu merupakan kunci untuk membuka pintu dari sebuah kuil atau ‘Temple’ yang menyimpan sebuah rahasia besar bagi umat manusia. 

Templar di tahun 1754.
Orang-orang ini adalah organisasi Templar, termasuk Haytam yang merupakan Grand Master dari Templar. Haytam kemudian diberi mandat untuk pergi ke koloni Amerika Serikat untuk melacak keberadaan kuil tersebut. Haytam pun patuh dan segera beranjak pergi ke Amerika. Sequence 1, Deadly Performance, yang merupakan bagian pertama dari permainan ini pun selesai alias Mission Complete. Saya kini dibawa ke layar loading, dengan lingkungan serba putih seperti saat Desmond Miles pertama kali memasuki Animus. Bedanya, kali ini yang berada di sana adalah Haytam Kenway.

Permainan berlanjut, dan tiba-tiba saya sudah berada di atas kapal layar, di tengah Samudera Atlantik, hari kedua berlayar. Haytam tengah menulis di buku hariannya, di dalam kabinnya ketika dia merasa bosan dan butuh udara segar. Saya pun, sebagai Haytam, melangkah menuju ke dek atas kapal, karena memang itulah objective yang mesti saya lakukan. Tapi naik ke atas dek bukanlah hal yang mudah, karena saya beberapa kali kesasar masuk ke kabin orang hingga akhirnya menemukan tangga yang tepat untuk menuju ke atas. Rupanya bukan saya saja yang tersesat masuk ke dalam kabin orang, saya melihat video longplay di YouTube ada juga yang tersesat seperti saya.

Haytam cari angin segar atau cari masalah nih?
Di atas dek kapal, di luar kapal tepatnya, Haytam mendatangi tiga awak kapal yang tengah bergosip, entah apa yang dibicarakan oleh mereka. Keberadaan Haytam tampaknya mengganggu kesenangan tiga awak kapal tersebut, di mana dua di antaranya menantang Haytam berkelahi, walaupun seorang lagi yang bersyal merah berusaha mencegah. Perkelahian tangan kosong antara salah seorang kru melawan Haytam pun tak terelakkan terjadi, dan ini menjadi adegan pertarungan jarak dekat pertama yang saya alami dalam Assassin’s Creed III. 

Sebagaimana adegan pertama lainnya, dalam duel ini muncul tombol-tombol yang mesti ditekan berikut kegunaannya dalam duel yang meliputi menangkis serangan dan melayangkan pukulan. Walaupun awalnya terasa cukup sulit, namun toh saya bisa juga  menyesuaikan diri dengan mekanik duel ini tanpa kalah sekalipun. Pertarungan satu lawan satu ini dikemas dalam format yang menarik, yang terfokus dan diselingi gerak lambat. Kamera secara dinamis bergerak, menyesuaikan sudut pandang terbaik untuk pemain. Ditambah sorakan dari para awak kapal lainnya, duel ini terasa begitu hidup dan membuat saya terbawa suasana.

Laki tanding kalau sebanding.
Kru pertama berhasil dijatuhkan dan kru kedua ganti menantang berkelahi. Bila pada duel dengan kru pertama saya diajarkan cara menangkis dan menyerang lawan, pada duel kedua ini saya diajarkan caranya menyerang balik dan juga menjatuhkan lawan. Hasil duel ini sama seperti duel pertama, dengan si kru berhasil saya jatuhkan. Tidak terima telah saya kalahkan, awak kapal ini lantas mengeluarkan pisaunya dan kembali mengancam saya. Duel berikutnya kembali terjadi, kali ini saya diajarkan cara melucuti senjata lawan. 

Haytam berhasil merebut pisau dari kru tersebut saat kapten kapal datang di tengah keributan. Kapten bertanya pada kru bersyal merah dan lelaki bernama Mills itu menjawab kalau mereka hanya sedang bercanda buat hiburan. Kapten kapal tak percaya dan meminta anak buahnya tidak berbuat onar, seraya memanggil Haytam. Sebelum saya mengikuti si kapten, terlebih dulu saya lemparkan pisau ke arah lawan duel saya, menancap di lantai yang ada di depannya. Yang terjadi berikutnya adalah saya mengikuti si kapten menuju kabin dan terjadilah sedikit percakapan kasar di sana.

Si Kapten ini menyebalkan juga ternyata.
Si Kapten mengungkap adanya persekongkolan di antara anak buahnya, namun dia tidak tahu pasti apa itu dan siapa saja yang terlibat. Karenanya dia meminta Haytam berhati-hati dan tidak berbuat ulah, ya setidaknya itulah yang saya tangkap dari percakapan mereka. Setelah mengakhiri percakapan dengan kurang baik, saya lantas meninggalkan kabin kapten dan kembali ke kabin untuk mengakhiri hari, sebagaimana yang tertera dalam objective. Awalnya saya sulit mengenali kabin Haytam, namun adanya tanda jaring-jaring di mejanya membuat saya tahu kabin yang tepat. Haytam, memandangi kalung yang dicurinya di gedung opera dan kemudian menulis di buku hariannya. Saya pikir dia tidak menulis, karena halaman di bukunya penuh dengan kalimat. Sepertinya dia menganalisa apa yang tertulis dalam buku tersebut, dan hari pun berlalu.  

Hampir sebulan berlalu sejak insiden duel tersebut, namun saya masih berada di atas kapal, di hari ke-28 pelayaran menuju Amerika. Haytam tengah melihat kalung curiannya ketika kapten melintas dan mengatakan padanya tentang persekongkolan yang segera muncul ke permukaan. Haytam pun menutup bukunya, beranjak mulai mencari informasi tentang apa yang tengah terjadi di atas kapal yang membawanya ke benua baru. Saat itu malam hari, dan saya mengikuti tanda segienam yang membawa saya pada salah seorang awak kapal untuk ditanyai. Ketika saya tanyai, dia menyuruh saya bertanya pada dokter atau koki.

Ngobrol sama si James.
Saya kembali menyusuri bagian dalam kapal menuju kabin dokter. Si dokter lantas menyuruh saya bertanya pada James, yang katanya juga memiliki kecurigaan yang sama. Mengikuti tanda segienam, saya kembali menelusuri kapal, kali ini mencari James. Tidak sulit menemukan James, apalagi dia orangnya asyik diajak berbicara. Namun James hanya mau membicarakan kecurigaannya di dek luar kapal, karenanya saya pun mengikutinya ke atas kapal. Di luar, James mengatakan bahwa beberapa awak kapal mengadakan pertemuan di dek atas saat tengah malam, kemungkinan merencanakan pemberontakan.

Setelah mendapatkan informasi dari James, saya naik ke atas dek kemudi, dengan seorang mualim di sana yang mengendalikan kapal. Haytam sedikit berbasa-basi dengan si mualim saat tiba-tiba terdengar suara sesuatu yang berat jatuh ke laut. Rupanya ada seseorang dari dalam kapal yang membuang tong-tong muatan. Saya pun segera masuk ke dalam mencari asal tong-tong tersebut dibuang. Saya tiba di salah satu kabin yang tampaknya menjadi asal tong-tong tersebut, namun tidak ada seorang pun di sana. Hanya tersisa satu tong yang kelihatannya berisi mesiu. Haytam menjadi penasaran dan kembali ke kabin untuk mengakhiri hari.

Musang berbulu domba itu namanya Mills.
Hari ke-33 pelayaran dan semuanya mulai jelas. Ketika kapten bertanya mengenai progres penyelidikan pada Haytam, salah seorang kru melihat ada kapal lain di kejauhan yang siap menembakkan meriam. Yang terjadi selanjutnya adalah suara dentuman di laut, yang membuat kapten berpikir kapal itu tidak berniat menghancurkan kapalnya, melainkan berniat merapat. Kapten pun mengambil inisiatif pertahanan dan mempersiapkan pertempuran, memerintahkan Haytam kembali ke kabin. Haytam awalnya menolak, namun argumen kapten membuatnya tak berkutik dan turun ke dalam kapal. 

Saat turun ke dalam kapal itulah dia disambut Mills, yang sepertinya sudah menunggu kedatangan Haytam. Haytam menjelaskan situasi dan juga rasa penasarannya, dan Mills lantas mengungkap semuanya. Dia mengatakan bahwa mereka mengetahui apa yang dilakukan Haytam di opera dan berniat menangkapnya. Dia meminta Haytam menyerah tanpa perlawanan, tentu saja ditolak oleh Assassin kita yang menantang bertarung. Well, jujur saya tidak menyangka Mills yang awalnya terlihat baik dan membela Haytam justru adalah pemberontak yang berencana menangkapnya.

Duel pedang yang seru.
Setelah memberikan pedangnya kepada Haytam, Mills mengambil pedang lain dan keduanya siap dengan kuda-kudanya masing-masing untuk berduel. Pertarungan pedang pertama dalam Assassin;s Creed III pun terjadi, dengan ikon berwarna merah yang menandakan target yang harus saya habisi. Di sini saya diajarkan cara bertarung pedang, dan butuh waktu yang lama buat saya bisa menghabisi Mills. Duel pedang perdana saya dalam serial Assassin’s Creed ini sendiri terasa menyenangkan, seru, dan begitu intens dengan beberapa gerakan di antaranya menangkis, menyerang balik, dan melucuti senjata lawan. Mills pun menjadi korban pertama saya dalam pertarungan pedang yang adil.

Haytam kembali ke dek atas dan langsung mendapat protes dari kapten. Setelah Haytam menjelaskan yang terjadi, kapten berpikiran untuk menyerahkan Haytam pada kapal yang mengejar mereka. Namun jelas Haytam menolak, dan memberikan opsi agar kapten menggerakkan kapal ke dalam badai. Awalnya si kapten menolak, namun dia terpaksa menyetujuinya setelah Haytam menodongnya dengan pisau. Yang terjadi kemudian adalah sebuah perjuangan berat melawan badai. Kapal si kapten masuk ke dalam badai, diikuti kapal yang hendak menangkap Haytam, sebut saja itu kapal jahat.

Bertahan dalam badai.
Badai membuat semua kru kapal kewalahan. Si kapten lantas protes kepada Haytam, mengatakan kalau dari awal keputusan masuk ke dalam badai adalah sesuatu yang gila. Haytam berusaha menenangkan si kapten, dan berjanji memperbaiki tali-tali kapal yang rusak karena badai. Dan itu objective saya saat ini, bergerak dari satu sisi kapal ke sisi kapal lainnya untuk memperbaiki dalam hal ini mengencangkan tali yang rusak. Setelah memperbaiki beberapa tali, kapten menyuruh saya membuka layar di tiang atas kapal. Kali ini saya mesti memanjat naik ke atas tiang kapal dan membuka layarnya.

Setelah membuka layar di salah satu haluan kapal, sebuah petir menyambar tiang kapal yang lain, membuat James terjatuh dan berada dalam bahaya. Di sini saya mendapatkan objective singkat menyelamatkan James. Bukan hal yang sulit menyelamatkan James, dan melakukannya terbilang menyenangkan. Melompat di tengah badai dengan guyuran hujan deras, suara petir menggelegar dan deburan ombak? Itu keren banget bung! Jujur saya dibuat terkesima dengan adegan dalam badai ini, karena suasananya begitu terasa hidup. Saya seperti sedang berada di di dalam badai sungguhan. Pada akhirnya kapal si kapten berhasil survive dari badai, sementara kapal jahat tenggelam ke dalam laut.

Menyelamatkan James.
Hari ke-72 pelayaran, suasana di luar berkabut, kabutnya cukup tebal. Meski begitu terdengar banyak suara burung camar. Haytam tengah berada di dalam kamarnya, menggenggam batangan emas dan juga terlihat sedikit kurang enak badan, entahlah mungkin dia mabuk laut. Melihat keluar jendela, Haytam lalu beranjak dan berjalan ke dek atas menemui kapten. Kapten memerintahkan para krunya untuk bersiap mendarat, membuat Haytam terkejut dan tidak percaya karena ada kabut. Kapten mengatakan suara burung camar adalah pertanda dan kalau Haytam tidak percaya bisa naik ke atas tiang untuk melihat sendiri dari sana.

Saya pun memanjat tiang tertinggi dari kapal ini yang disebut ‘crow nest’ oleh kapten. Cukup lama juga saya memanjat karena di luar dugaan tiang ini tinggu juga ya. Sesampainya di atas, sebuah pemandangan di kejauhan langsung menyambut saya. Si kapten tidak berbohong, kapal ini memang telah tiba di dunia baru, Amerika. Seiring itu Haytam menyaksikan kota pelabuhan di seberangnya, muncul tulisan ‘Ubisoft Presents’ diikuti judul ‘Assassin’s Creed III’ di tengah layar, diiringi sebuah musik intro. Dan saya langsung terkejut karena rupanya gamenya baru benar-benar bermula di sini. Well, ini terasa seperti memainkan game Final Fantasy pertama, dan menurut saya ini keren.

Pemandangan ini rasanya indah sekali.
Sequence 1: Journey to the New World telah selesai, dan kini saya memasuki Sequence 2: Boston 1754. Kapal benar-benar merapat di Pelabuhan Boston dan tentu saja Haytam segera turun. Baru saja menjejakkan kaki di tanah Amerika, seorang pria langsung menyambutnya dengan memanggil “Master Kenway!”. Bila kalian lupa, Kenway adalah nama panjang Haytam. Nama ini mirip dengan nama keren sahabat saya di internet, namanya Dika Kernway. Bicara mengenai teman saya ini, awalnya saya pikir nama tersebut adalah nama asli, rupanya itu nama kerennya dan nama aslinya adalah Arya Andika. Ckckck.

Pria yang menyambut Haytam memperkenalkan dirinya sebagai Charles Lee, yang bertugas memperkenalkan Haytam dengan kota Boston. Yang terjadi berikutnya adalah saya mengikuti si Charles ini berjalan melewati pelabuhan dan memasuki Kota Boston. Terjadi sedikit percakapan antara Haytam dan teman barunya ini di sepanjang perjalanan memasuki Kota Boston. Kota ini tampak menarik dengan banyaknya orang yang lalu-lalang, membuat saya penasaran petualangan apa yang menanti saya di kota ini. Namun baru saja saya keluar dari pelabuhan memasuki kota, televisi di depan saya mendadak mati, pertanda waktu satu jam telah terlewati.

Charles Lee menyambut kedatangan Haytam.
Baik, satu jam permainan telah terlewati, yang artinya saatnya saya mengulas game ini lebih lanjut dalam pengamatan dan pengalaman saya selama satu jam pertama memainkannya. Namun sebelum itu saya ingin mengatakan bahwa waktu satu jam kali ini entah kenapa terasa begitu lama. Rasanya saya sudah memainkan game ini selama berjam-jam saja, sesuatu yang belum pernah saya rasakan dalam pengalaman satu jam permainan lainnya sebelum ini. Well, ini mungkin efek dari perjalanan laut yang dialami Haytam, yang berlangsung selama 72 hari lamanya. Karena saya terbawa dalam suasana pelayaran, membuat saya merasa permainan saya pun begitu lama.

Dari segi grafis atau gambar, tidak ada yang perlu diragukan dari seri kronologis ketiga Assassin’s Creed ini. Gambarnya begitu bagus, begitu detail di setiap objek lingkungannya. Saya sudah menjelaskan sebelumnya bahwa saking detailnya, setiap objek yang ada tersebut menyatu dengan lingkungan permainan, dan membuat saya mesti berpikir kreatif untuk bisa melihat semuanya dengan baik. Lingkungan permainannya terasa begitu hidup, menciptakan sebuah suasana dunia nyata yang riil, seakan-akan saya memang berada di sana.

Hiruk-pikuk pelabuhan yang digambarkan sempurna.
Lihat saja betapa sempurnanya penggambaran bagian dalam gedung opera lengkap dengan interior belakang panggungnya. Hal yang sama juga berlaku untuk lingkungan dalam sekuen pelayaran di Samudera Atlantic. Kapal yang dinaiki Haytam digambar begitu detail setiap sudutnya. Bagian dalamnya pun digarap dengan serius, bukan asal mengisi objek untuk memenuhi ruangan. Menurut saya, dari sampel gedung opera dan juga kapal layar saja, terlihat betapa seriusnya Ubisoft menggarap departemen visual ini.

Di luar penggambaran detail aspek lingkungan, efek visual yang ada juga begitu mengagumkan. Dalam hal ini saya beri salut untuk penggambaran badai di Atlantic yang begitu hidup, sukses membawa saya dalam suatu suasana ketegangan di dalam badai. Hal yang sama terlihat pada penggambaran pelabuhannya yang suasana hiruk-pikuk keramaiannya begitu hidup. Ubisoft dalam hal ini memberikan perhatian lebih pada setiap detail keramaian tersebut, salah satunya saya menemukan adanya seorang pedagang buah yang kotak buahnya jatuh, dan ada seorang pencuri buah di sana.

Templar di era modern.
Kemudian untuk penggambaran karakter, menurut saya sudah bagus. Karakternya memiliki ciri khas masing-masing, dan sama seperti lingkungan permainannya, dibuat dengan detail. Walaupun dalam beberapa adegan saya melihat kurangnya ekspresi ataupun ekspresi yang tidak sesuai. Misalnya saat Desmond mencari ‘Temple’, rasanya ekspresinya datar sekali. Mungkin sedikit kerutan bisa membuatnya terlihat tidak kaku. Sedangkan contoh ketidaksesuaian yaitu ekspresi Haytam ketika menyadari Mills penjahatnya. Dalam adegan ini, kepala Haytam tampak agak naik ke atas, di mana matanya tampak melihat lebih ke atas pula, seolah lawan bicaranya jauh lebih tinggi. Padahal tinggi Mills sepantaran Haytam.

Untuk audio atau suaranya, saya pikir saya tidak akan menjelaskan terlalu panjang mengenai hal ini. Assassin’s Creed III memiliki barisan musik latar yang mengalun sangat pas dengan atmosfer permainannya. Pun dengan efek suaranya yang terdengar seperti di dunia nyata. Suasana keheningan, kericuhan, kecurigaan, keramaian, semuanya menyatu begitu baik ke dalam keseluruhan permainan, menjadikan game ini terasa seperti dunia nyata. Maksudnya, saya mendengar hal-hal seperti itu terjadi di dunia nyata. Meski begitu saya rasanya departemen suaranya tidak terlalu berkesan, mengingat tidak ada satupun musik latar yang iramanya nyangkut di telinga saya. Voice acting-nya sendiri menurut saya biasa saja, tanpa ada satu suara pun yang berkesan.

Mencegah kiamat?
Beralih ke segi narasi, Assassin’s Creed III sebenarnya memiliki jalinan kisah yang kompleks namun menarik. Sayangnya, menurut saya Ubisoft melakukan kesalahan dengan menghadirkan sebuah narasi prolog yang terlalu panjang dan rumit di awal permainan dalam wujud penceritaan oleh ayahnya Desmond Miles. Narasi seperti ini sebenarnya bukanlah masalah. Akan tetapi memasukkan begitu banyak informasi kepada pemain yang baru saja memulai permainan bukanlah hal yang bijak, khususnya bila pemain tersebut baru pertama kali memainkan game Assassin’s Creed seperti saya ini.

Makanya jujur saja bila sampai sekarang setelah satu jam memainkannya, saya masih kurang yakin bakal seperti apa cerita game ini. Bahkan menurut saya kilasan ceritanya sama terbilang tidak masuk akal, khususnya mengenai Animus dan Juno. Tapi mungkin buat kalian penggemar serial ini, tentu narasi seperti ini kedengarannya keren dan merupakan sebuah variasi, inovasi dalam kronologi permainannya. Kalau menurut kalian demikian ya jangan salahkan saya, karena itukan pendapat saya yang belum pernah mencicipi game Assassin’s Creed sebelumnya.

Karakteristik Haytam Kenway terasa begitu hidup.
Tapi untuk jalinan cerita yang terjadi di sepanjang permainan menurut saya cukup menarik, paling tidak membuat saya penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi dan akan terjadi kemudian. Saya menemukan banyak konflik di sini yang menurut saya semakin memperkaya cerita Assassin’s Creed III. Meski baru memainkannya satu jam saja, namun saya sudah menduga kalau cerita dalam game ini bakal begitu kompleks namun dengan kadar yang tepat, mengingat ada lebih dari satu karakter yang saya mainkan yang artinya lebih dari satu sudut pandang karakter.

Untuk kontrol permainan, menurut saya sudah bagus. Refleks karakter dengan pencapaian langkah yang saya tuju sudah pas, ya walaupun ada beberapa refleks yang kurang responsif, membuat saya bingung mesti melangkah ke mana lagi atau bingung melakukan apalagi. Keterlambatan ini saya temukan saat akan berakrobat dari satu platform ke platform lainnya, bergeser, dan juga saat saya bertarung pedang melawan Mills. Namun secara garis besar kontrolnya begitu sederhana dan mudah dipejari siapa saja.

Penuh adegan akrobat dan parkour. (sumber gambar: photovide.com)
Dari sisi gameplay, Assassin’s Creed III menurut saya memiliki semua yang bisa dimiliki game Action Adventure sejenis. Game ini memiliki elemen platformer dalam wujud akrobat dan parkour, memiliki elemen stealth, juga memiliki mekanik game khusus salah satunya membuka pintu yang terkunci. Rasanya begitu menyenangkan saat berlari dari satu tempat ke tempat lainnya, dan melakukan beberapa aksi yang hanya bisa saya lakukan dalam video game. Mekanik duelnya, baik duel tangan kosong maupun duel berpedang pun terasa menyenangkan dimainkan. 

Lantas, apakah ada kelemahan atau kekurangan yang saya temukan dalam game ini sepanjang satu jam permainan? Bicara kelemahan sebenarnya saya tidak menemukan sesuatu yang benar-benar mengganggu keasyikan bermain. Mungkin hanya refleks dalam setiap peralihan adegan aksi yang menurut saya kurang responsif dan membutuhkan presisi gerakan yang pas. Tapi meski begitu, sekali saya tenggelam dalam suasana permainan yang seperti saya jelaskan sebelumnya begitu hidup, rasanya saya tidak akan mempermasalahkannya lagi.

Game serius yang penuh kekerasan. (sumber gambar: kingui.net)
Dan satu lagi kalau bisa disebut kelemahan, yaitu tone atau suasana game ini yang terasa begitu seriusnya. Saking seriusnya sampai saya begitu tertarik dengan pandangan yang tak lepas dari layar televisi. Dari awal sampai satu jam permainan berakhir, tidak ada sedikit pun sentuhan humor atau comic relief yang muncul, paling tidak untuk membuat saya tersenyum sekali saja. Ya memang sih game ini bernada serius, dengan tema konspirasi, namun bukan berarti gamenya bisa sebegitu seriusnya. Mestinya ada sedikit candaan yang bisa diselipkan saat Desmond mencari ‘Temple’ atau saat Haytam berada di kapal. Meski begitu saya tidak protes, karena saya pikir memang seperti inilah seharusnya game Assassin’s Creed.

Kesimpulannya, secara garis besar Assassin’s Creed III adalah sebuah action-adventure yang keren, lengkap dengan elemen stealth-nya. Game ini terbilang lengkap dari segi gameplay, narasi, kontrol, dan audio-visual. Kesemua itu menurut saya sukses menghidupkan sebuah pengalaman video game sinematik yang begitu terasa, bukan hanya saya sedang memainkan dan menyaksikan sebuah video game, melainkan saya merasakan menjadi karakter dalam game ini. Game ini secara mengejutkan mampu membuat waktu satu jam saya terasa begitu lama, yang artinya game ini cocok sekali untuk mengisi waktu luang, khususnya buat menunggu waktu berbuka puasa.

Sayangnya saya belum sempat naik kuda seperti ini. (sumber gambar: gamechurch.com)
Akhirnya, setelah satu jam bermain, saya pikir tidak ada salahnya untuk saya kembali memainkan game ini bila kondisinya memungkinkan. Memainkan game ini membuat saya merasa hidup dalam suasana penuh konflik di masa lalu, dan tentunya merasakan menjadi seorang pembunuh profesional tanpa harus memiliki dosa tersebut. Sama seperti si hacker Aiden Pearce, yang juga datang dari Ubisoft, karakter Assassin dalam game ini, sejauh ini Haytam Kenway, buat saya adalah karakter yang keren. 

Ada banyak hal yang belum saya rasakan dalam Assassin’s Creed III sepanjang satu jam permainan ini. Sensasi stealth-nya masih belum terasa sama sekali karena sebenarnya belum ada satu adegan pun dari pengalaman satu jam saya di mana saya menjatuhkan lawan dengan elemen stealth. Pun begitu dengan jalinan ceritanya yang masih sangat sedikit yang bisa saya ketahui. Hal-hal ini menurut saya cukup jadi alasan untuk kembali memainkan game ini di suatu waktu bila memungkinkan. Dari skala 1 sampai 10, saya beri game ini nilai impresi 9 yang artinya sangat layak untuk dimainkan kembali. Sebagai penggemar kisah konspirasi penuh intrik dan konflik, tentu Assassin’s Creed III adalah apa yang saya butuhkan sejauh ini. Saya Gamer Jalanan, terima kasih sudah membaca pengalaman saya ini dan... Salam Gamer!  (gj)

*NB: Gambar-gambar screenshot diambil dari YouTube.

5 comments:

  1. Gan di assasin creed 3 ini saya baru main..dan tokoh utama berubah menjadi anak muda suku indian sepertinya setelah itu misi saya jalankan hingga tiba saatnya dimana tokoh utama kembali ke temple diera modern dan memanjat gedung kemudian terjun pakai parasut menuju helipad.nah setelah itu saya musti gimana gan,?kenapa cuma ada di temple melulu.tidak ada petunjuk sama sekali.apa yg harus saya lakukan?mohon petunjuknya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bisa dicek walkthroughnya di google atau youtube. Soalnya saya cuma main satu jam saja, belum main lagi. Hehehe.

      Delete
  2. Gan gua main kan, sehabis gak bisa di save
    Karena pas main lagi ehh mulai dari awal lagi, solusi gan??

    ReplyDelete
  3. Gan di sequence 7 pas jadi komando untuk nembak pasukan musuh gimana triknya?

    ReplyDelete