Nintendo DS Lite milik saya. |
Halo sahabat gamer,
saya Gamer Jalanan, rasanya sudah sangat lama sejak saya menulis artikel
terakhir di blog ini. Mungkin sudah ada satu tahun lebih ya saya hiatus menulis
di blog ini. Terkahir saya menulis Oktober 2016, dan sekarang sudah Januari
2018 saja. Well, bagi para pembaca setia blog Gamer Jalanan, saya minta maaf
atas kekosongan di blog ini selama satu tahun lebih, karena saya disibukkan
dengan pekerjaan saya setelah saya kembali menjadi seorang kuli tinta.
Menariknya adalah,
meskipun tidak ada update hingga waktu yang begitu lama, tapi saya perhatikan
jumlah like di fanpage Gamer Jalanan yang ada di Facebook terus bertambah dari
waktu ke waktu. Sehingga saya cukup percaya diri untuk menyimpulkan bahwa artikel-artikel
dalam blog ini rupanya banyak yang membaca. Bukan tidak mungkin bila sahabat
gamer menunggu artikel-artikel terbaru di blog ini.
Untuk itu, di awal
tahun 2018 ini, saya akan mulai mengupayakan mengisi kembali blog Gamer
Jalanan. Semoga saja di sela-sela kesibukan saya, saya masih bisa meluangkan
waktu mengisi satu hingga dua artikel baru dalam sebulan. Doakan saya ya Gamer
Jalanan. Dan untuk mengawali tahun baru ini, saya akan menulis kisah penantian
saya selama sepuluh tahun untuk bisa memiliki konsol portabel terlaris dari
Nintendo, Nintendo Dual Screen atau lebih populer disingkat NDS.
NDS adalah mesin
game atau konsol handheld portabel buatan Nintendo yang hadir di generasi
ketujuh dalam sejarah industri video game dunia. Dirilis pertama kali pada
2004, NDS dikenal dengan inovasinya yang menampilkan dua layar (dual screen)
dan memperkenalkan fitur layar sentuh (touch screen) kepada dunia game. Jadi
jauh sebelum era smartphone android yang kental dengan layar sentuh, NDS sudah
terlebih dulu hadir membawa fitur ini.
Keluarga NDS, dari kiri ke kanan: NDS Phat, NDS Lite, dan NDSi. (foto: Matt Jerome/flickr) |
Konsol ini
merupakan penerus konsol Game Boy Advance (GBA), walaupun awalnya Nintendo
menyebutnya sebagai platform pilar ketiga setelah konsol rumahan dan konsol
portabel mereka. Dengan beragam fitur seperti layar sentuh, mikropon,
konektivitas tanpa kabel (wireless connection), bahwakn peramban (browser)
internet, Nintendo mengklaim bila NDS bukan hanya ditujukan kepada para gamer.
Melainkan juga kepada non gamer yang belum pernah bermain video game.
Konsep ini
direalisasikan melalui game-game kasual yang ringan namun seru untuk dimainkan
seperti serial Brain Age, aneka game berbasis irama (rhythm) seperti Rhythm
Heaven dan Elite Beat Agents, hingga game visual novel yang begitu memikat
seperti serial Phoenix Wright: Ace Attorney. Di satu sisi, NDS juga didukung
kehadiran banyak serial game populer untuk para gamer kawakan, seperti serial
Pokemon yang tidak pernah absen dalam mesin portabel Nintendo, ikon-ikon
Nintendo seperti Super Mario, Donkey Kong, Metroid, serta game-game dari developer
kenamaan seperti Final Fantasy, Grand Theft Auto, hingga Call of Duty.
Seolah belum cukup,
NDS hadir dalam kemampuan kompatibilitas mundur (backward compability) yang
mampu memainkan game-game GBA. Artinya, dengan konsol ini para gamer maupun non
gamer bisa memainkan banyak sekali game, mungkin jumlahnya mencapai dua ribuan
dan sebagian besar adalah game-game berkualitas. Ya walaupun ini hanya berlaku
untuk dua varian pertamanya yaitu NDS pertama (yang populer dengan sebutan “NDS
Phat”) dan NDS Lite (versi yang lebih ringan). Tidak berlaku untuk NDSi dan
versi besarnya, NDSi XL.
Bahkan Professor X memainkan NDS. (sumber: pinterest) |
Oke, cukup untuk
perkenalan tentang NDS, sekarang beralih ke pengalaman saya tentang sistem ini.
NDS pertama kali saya ketahui di tahun 2006, saat saya duduk di bangku kuliah,
ketika membaca majalah HotGame. Game-game Pokemon terbaru menjadi alasan kenapa
saya kemudian tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang konsol ini.
Setelah menamatkan game-game Pokemon di GBA, saya penasaran dengan game Pokemon
terbarunya kala itu, Diamond & Pearl.
Tentu dengan kocek
mahasiswa, sulit bagi saya untuk bisa memiliki konsol dua layar ini. Lagipula
saat itu saya tidak terlalu tertarik membeli NDS, mengingat saya hanya
penasaran dengan game Pokemon saja. Memang saya sempat membaca ulasan di
HotGame tentang beberapa game menarik di NDS, tapi tidak ada yang membuat saya
tertarik untuk membelinya. Apalagi kala itu sudah mulai muncul emulator untuk
NDS, yang pertama kali saya ketahui yaitu iDeaS.
IDeaS emulator memainkan salah satu game favorit saya, Zoo Keeper. (sumber gambar: softonic) |
Hingga kemudian di
tahun yang sama, paman saya yang merupakan warga negara Jepang, Akihito
Shigeno, terlihat memainkan sebuah gadget. Beliau memainkan Sudoku. Anak-anak
beliau, yang merupakan sepupu saya, tampak berebut ingin memainkannya. Waktu
itu saya belum sadar kalau gadget tersebut adalah NDS Lite. Karena paman saya
itu memainkannya dalam posisi open book. Yang ada dalam pikiran saya kala hanya
game Sudoku yang dimainkannya, mengingat waktu itu saya sedang gandrung dengan
Sudoku, permainan angka yang begitu mengasyikkan.
Pada akhirnya saya
menyadari gadget tersebut adalah NDS Lite, dan game yang dimainkan paman saya
adalah Brain Age, game yang sebelumnya hanya saya ketahui dari informasi di HotGame.
Saya menyadarinya ketika sepupu-sepupu saya menantang saya memainkannya untuk
mengetes sejauh mana kecerdasan saya dalam game ini (well, pertama kali
memainkan Brain Age, saya dapat hasil orang berjalan kaki, cukup memalukan).
Contra 4, salah satu game yang begitu menantang di NDS. (sumber gambar: endgadget) |
Walaupun sudah
mengetahui seperti apa NDS, tapi belum ada keinginan untuk bisa memilikinya.
Selain karena kantong anak kuliahan yang cekak, juga karena saya waktu itu
lebih tertarik dengan game-game PC seperti Counter-Strike atau Age of Empires.
Ditambah lagi, emulator NDS yang lebih stabil sudah mulai muncul kala itu,
DeSmume dan No$GBA. Ketika saya hendak memainkan game-game NDS khususnya
Pokemon, saya bisa menggunakan emulator.
Tapi tidak benar
juga sih kalau saya tidak punya keinginan untuk memiliki NDS. Keinginan itu
pernah ada, terbersit saat pertama kali melihat paman saya memainkan Sudoku
dalam game Brain Age. Sebagai penggila Sudoku, saat melihat paman saya
memainkannya di NDS, saya sempat berkata dalam hati saya bahwa suatu saat nanti
saya pasti akan memainkan Sudoku seperti yang dilakukan paman saya. Dan tanpa
saya duga, sebersit keinginan tersebut akhirnya terwujud, satu dekade atau
sepuluh tahun kemudian. (bersambung ke bagian 2)
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete